sambungan
setelah itu ap yang dia katakan...jangan pernah dengarkan omongan orang lai...satu hal...aku slu sayang kamu
akhirnya...maaf pun terucap...
hari-hari pun masih kami jalani bersama.....
agar tidak ad masalah...aku harus berpura-pura bahagia...seolah tak pernah ad masalah,,,padahal banyak hal yang berniang diotakku
desember 2010
tepatnya...ultahku
sebelumnya dia janji akan nemanin hari kelahiranku seharian hanya bersama aku,,,ternyata itu tak sesuai dengan apa yang diharap kan
karna dia harus berangkat untuk tes di luar daerah..tepatnya muaro bungo
kecewa...tapi tetap tersenyum...itu yg terbaik...agr masa depan kami lebih cerah
g' taunya pas itu kami selokal pergi ke acara resepsi....karna dia juga capex baru nyampe muaro bungo.aku biarkan aj.....ato...aku g' nlvn dia..takutnya ganggu...karna sebelumnya kami telvonan pas dia dalam perjalanan.
eeeee....pas pulangnya....malah jadi pertengkaran hebat.....alasan itu jga dia mampir tempat mantannya
dunia serasa hampa....+
menangis........ufhhh pahit cinta ne
tak brapa lama kami baikan....karna cinta...harus saling memaafkan....
juli 2011
uffff tak bosan-bosanya masalh
mantan nya ganggu lgi...tpi kmi dak memperdulikan ap yang diblang mantannya
yang lebih parahnya...dia bilang orang tuanya...nyuruh dia nikah ma keluarganya
tapi dia g mau...dia cma sayang aku
dan bakal bahagiain aku
yhach karna cinta aku harus tegar & tetap berada disampinyya....
i love you abang
Blog ini saya buat karena saya pantas dan mampu untuk bersaing didunia informasi. Hidup Mahasiswa....!!!!!!
Rabu, 13 Juli 2011
Selasa, 12 Juli 2011
kisah ku
ini adalah cerita ku
10 appril 2010 adalah hari dimana aku memulai kehidupan ku,,,bertemu dengan dia....pertama kali aku jumpa....rasa sayang tu...belum....ada
perlahan-lahan...waktu demi waktu...kami jalani bersama...
tak sadar ternyata aku jatuh cinta pada dia.
juli 2010
pada saat itu aku bersama dia.....tapi mantannya...malah ingin kami berpisah,,,,aku pun tak rela
aku coba...untuk mempertahankan hubungan kami....
sebisa aku....
tapi apa yang terjadi dia malah mutusin kami berdua secar bersamaan...dia bilang...dia g' tega
aku pun menyempatkan diri debelum kekampus untuk bertemu dia........{hati menangis...namun langkah tetap menuju...tempatnya}
d8ia bilang...aku sayang kamu...ap yang harus ku lakukan agar kamu bisa maafin aku
tampa berfikir lama ku pun menjawab...kesempatan itu slalu ad....asal kamu..jamjai g' bakalan seperti ini agi.....
tak ada kata yang lebih baik,,,selain meberi maaf orang yang kita cintai
hari-hari pun kami lewati bersama.....tertawa...seolah-olah dunia ini cma ad kami berdua...yag lain pada ngontrak
12 09 2010
lebaran telah tiba...tentu hal yang paling bahagia....bisa berpergian dengan orang yang kita sayangi & mengunjungi camer
eeee...taunya pas kami lagi bareng untuk rekreasi ke kayu aro....
ternyata mantannya sms { jantung rasanya terhenti...marah,emosi....yang sulit untuk diugkapkan....swmuanya ....ulit.....menangis pun percma}
tidak beberpa lama.....mantan nya pun menelpon ak....bilang kalau kemaren dia dari tempat kerjanya dia......bukan hanya itu aj....keluarganya telah bertemu...dan mereka kan menikah...kaki gemetar mendengar ucapan orang itu.....tangisan..pun menemani aku.....
bersambung
10 appril 2010 adalah hari dimana aku memulai kehidupan ku,,,bertemu dengan dia....pertama kali aku jumpa....rasa sayang tu...belum....ada
perlahan-lahan...waktu demi waktu...kami jalani bersama...
tak sadar ternyata aku jatuh cinta pada dia.
juli 2010
pada saat itu aku bersama dia.....tapi mantannya...malah ingin kami berpisah,,,,aku pun tak rela
aku coba...untuk mempertahankan hubungan kami....
sebisa aku....
tapi apa yang terjadi dia malah mutusin kami berdua secar bersamaan...dia bilang...dia g' tega
aku pun menyempatkan diri debelum kekampus untuk bertemu dia........{hati menangis...namun langkah tetap menuju...tempatnya}
d8ia bilang...aku sayang kamu...ap yang harus ku lakukan agar kamu bisa maafin aku
tampa berfikir lama ku pun menjawab...kesempatan itu slalu ad....asal kamu..jamjai g' bakalan seperti ini agi.....
tak ada kata yang lebih baik,,,selain meberi maaf orang yang kita cintai
hari-hari pun kami lewati bersama.....tertawa...seolah-olah dunia ini cma ad kami berdua...yag lain pada ngontrak
12 09 2010
lebaran telah tiba...tentu hal yang paling bahagia....bisa berpergian dengan orang yang kita sayangi & mengunjungi camer
eeee...taunya pas kami lagi bareng untuk rekreasi ke kayu aro....
ternyata mantannya sms { jantung rasanya terhenti...marah,emosi....yang sulit untuk diugkapkan....swmuanya ....ulit.....menangis pun percma}
tidak beberpa lama.....mantan nya pun menelpon ak....bilang kalau kemaren dia dari tempat kerjanya dia......bukan hanya itu aj....keluarganya telah bertemu...dan mereka kan menikah...kaki gemetar mendengar ucapan orang itu.....tangisan..pun menemani aku.....
bersambung
cinta
Ketulusan CINTA yang engkau berikan pada orang yang kamu CINTAi akan membebaskan jiwamu dari belenggu kehawatiran kalau ia akan meninggalkanmu ,jika engkau mampu bersikap tulus sekalipun orang yang kamu CINTAi tak pernah membalasmu maka dalam jiwamu akan selalu mengalir seiring waktu berlalu ,dan engkau pasti tak akan pernah merasa kecewa karena ketulusan akan menenangkan pikiran dan perasaanmu .
Ketulusan CINTA yang engkau berikan pada orang yang kamu CINTAi akan membebaskan jiwamu dari belenggu kehawatiran kalau ia akan meninggalkanmu ,jika engkau mampu bersikap tulus sekalipun orang yang kamu CINTAi tak pernah membalasmu maka dalam jiwamu akan selalu mengalir seiring waktu berlalu ,dan engkau pasti tak akan pernah merasa kecewa karena ketulusan akan menenangkan pikiran dan perasaanmu .
Minggu, 10 Juli 2011

Ketika datang dengan camping penuh goresan
Berbalut arang dengan selembar kain robek tersampirkan
Gemuruh perut sudah jadi kebiasaan
Mencari penyambung hidup
Walaupun hanya segengam nasi tersuapkan
Read more: http://kanjengpanseria.blogspot.com/2010/06/syair-yang-mengisahkan-perjuangan-hidup.html#ixzz1RiASKiiY

KITA
Kita berjalan sama bersanding
Mengandeng tangan
Mengenggam diantara
Kedua jemari kehidupan
Saling membasuh air di tepian
Memeluk erat kedamaian
Meskipun halilintar menggelegar
Membentak keras memisahkan
Kita tetap teduh dalam kerindangan
Kita coba menyusur jejak
Dimana Adam dan Hawa ditakdirkan
Merajut langkah demi penyatuan
Membasuh cinta dengan kesucian
Diare (atau dalam bahasa kasar disebut menceret) (BM = diarea; Inggris = diarrhea) adalah sebuah penyakit di mana penderita mengalami rangsangan buang air besar yang terus-menerus dan tinja atau feses yang masih memiliki kandungan air berlebihan. Di Dunia ke-3, diare adalah penyebab kematian paling umum kematian balita, dan juga membunuh lebih dari 1,5 juta orang per tahun.
Penyebab
Kondisi ini dapat merupakan gejala dari luka, penyakit, alergi (fructose, lactose), memakan makanan yang asam,pedas,atau bersantan secara berlebihan, dan kelebihan vitamin C dan biasanya disertai sakit perut, dan seringkali mual dan muntah. Ada beberapa kondisi lain yang melibatkan tapi tidak semua gejala diare, dan definisi resmi medis dari diare adalah defekasi yang melebihi 200 gram per hari.Hal ini terjadi ketika cairan yang tidak mencukupi diserap oleh usus besar. Sebagai bagian dari proses digestasi, atau karena masukan cairan, makanan tercampur dengan sejumlah besar air. Oleh karena itu makanan yang dicerna terdiri dari cairan sebelum mencapai usus besar. Usus besar menyerap air, meninggalkan material yang lain sebagai kotoran yang setengah padat. Bila usus besar rusak / radang, penyerapan tidak terjadi dan hasilnya adalah kotoran yang berair.Diare kebanyakan disebabkan oleh beberapa infeksi virus tetapi juga seringkali akibat dari racun bakteria. Dalam kondisi hidup yang bersih dan dengan makanan mencukupi dan air tersedia, pasien yang sehat biasanya sembuh dari infeksi virus umum dalam beberapa hari dan paling lama satu minggu. Namun untuk individu yang sakit atau kurang gizi, diare dapat menyebabkan dehidrasi yang parah dan dapat mengancam-jiwa bila tanpa perawatan.Diare dapat menjadi gejala penyakit yang lebih serius, seperti disentri, kolera atau botulisme, dan juga dapat menjadi indikasi sindrom kronis seperti penyakit Crohn. Meskipun penderita apendisitis umumnya tidak mengalami diare, diare menjadi gejala umum radang usus buntu.Diare juga dapat disebabkan oleh konsumsi alkohol yang berlebihan, terutama dalam seseorang yang tidak cukup makan
GejalaGejala yang biasanya ditemukan adalah buang air besar terus menerus disertai mual dan muntah. Tetapi gejala lainnya yang dapat timbul antara lain pegal pada punggung,dan perut berbunyi.
PerawatanPerawatan untuk diare melibatkan pasien mengonsumsi sejumlah air yang mencukupi untuk menggantikan yang hilang, lebih baik bila dicampur dengan elektrolit untuk menyediakan garam yang dibutuhkan dan sejumlah nutrisi. Untuk banyak orang, perawatan lebih lanjut dan medikasi resmi tidak dibutuhkan.
Diare di bawah ini biasanya diperlukan pengawasan medis:Diare pada balita
• Diare menengah atau berat pada anak-anak
• Diare yang bercampur dengan darah.
• Diare yang terus terjadi lebih dari 2 minggu.
• Diare yang disertai dengan penyakit umum lainnya seperti sakit perut, demam, kehilangan berat badan, dan lain-lain.
• Diare pada orang bepergian (kemungkinan terjadi infeksi yang eksotis seperti parasit)
• Diare dalam institusi seperti rumah sakit, perawatan anak, institut kesehatan mental.
Keracunan Pada anak
Pendahuluan
Keracunan adalah masuknya zat racun kedalam tubuh baik melalui saluran
pencernaan, saluran nafas, atau melalui kulit atau mukosa yang menimbulkan
gejala klinis. Angka yang pasti dari kejadian keracunan di Indonesia belum
diketahui, meskipun banyak dilaporkan kejadian-kejadian keracunan di
beberapa rumah sakit tetapi angka ini tidak menggambarkan kejadian yang
sebenarnya didalam masyarakat.
Di Amerika Serikat kecelakaan dan keracunan merupakan penyebab utama
kematian anak-anak. Lebih kurang 60% dari paparan keracunan yang
dilaporkan
terjadi pada anak berumur < 6 tahun, dengan kematian < 4%.
Di RSCM/FK UI Jakarta dilaporkan 45 penderita anak yang mengalami
keracunan
setiap tahunnya, sedang di RS dr. Soetomo Surabaya 15 - 30 penderita anak
yang datang untuk mendapatkan pengobatan karena keracunan setiap
tahun,yang
sebagian besar karena keracunan hidrokarbon ( 45 - 60%), keracunan
makanan,
keracunan obat-obatan, detergen dan bahan-bahan rumah tangga yang lain.
Meskipun keracunan dapat terjadi melalui saluran cerna, saluran nafas,
kulit
dan mukosa atau parenteral tetapi yang terbanyak racun masuk melalui
saluran
cerna ( 75 % ) dan inhalasi ( 14% ).Keracunan merupakan suatu keadaan
gawat
darurat medis yang membutuhkan tindakan segera, keterlambatan dalam
memberikan pertolongan dapat membawa akibat yang fatal.
Pada dasarnya keracunan pada anak tidaklah berbeda dengan pada dewasa,
tapi
oleh karena secara alamiah terdapat perbedaan akibat dari tingkat
perkembangan fisik yang masih sedang tumbuh, kepribadian dan emosi yang
sedang berkembang, sehingga terdapat beberapa perbedaan dalam kejadian,
jenis, lokasi serta motif dari keracunan.
Mengingat resiko keracunan yang sangat berbahaya dan bahkan dapat
menyebabkan kematian dan mengingat bahwa keracunan pada anak sebagian
besar
adalah karena kecelakaan dan dapat dicegah, maka usaha-usaha pencegahan
hendaknya mendapat perhatian dan prioritas utama dalam penanggulangan
keracunan pada anak.
Keracunan pada anak
Anak bukanlah orang dewasa dalam bentuk kecil, terdapat perbedaan -
perbedaan baik fisik, fisiologis maupun psikologis dengan orang dewasa.
Fungsi organ-organ tubuh belum matang, demikian pula dengan fungsi
pertahanan tubuh yang belum sempurna. Pada anak terdapat faktor-faktor
yang
mempermudah terjadinya keracunan,yaitu :
•Perkembangan kepribadian anak usia 0 - 5 tahun masih dalam fase
oral sehingga ada kecenderungan untuk memasukkan segala yang dipegang
kedalam mulutnya.
•Anak-anak masih belum mengetahui apa yang berbahaya bagi dirinya
(termasuk disini anak dengan retardasi mental.
•Anak-anak mempunyai rasa ingin tahu yang besar.
•Anak-anak pada usia ini mempunyai sifat negativistik yaitu
selalu
menentang perintah atau melanggar larangan.
Oleh karena sifat-sifat tersebut maka keracunan pada anak lebih sering
karena kecelakaan (accidental poisoning ),sedang pada dewasa keracunan
lebih
sering karena pekerjaannya (occupational poisoning) dan pembunuhan atau
usaha bunuh diri.
Pada anak kecil jarang terjadi keracunan karena usaha bunuh diri atau
pembunuhan, walaupun pernah dilaporkan melalui media massa adanya
pembunuhan
anak dengan jalan memberi racun oleh ibu yang putus asa sebelum kemudian
dia
bunuh diri.
Penyebab keracun n
Pada dasarnya semua a bahan dapat menyebabkan keracunan tergantung seberapa
banyak bahan tersebut masuk kedalam tubuh. Bahan-bahan yang dapat
menyebabkan keracunaan adalah :
• Makanan
• Bahan-bahan kimia
• Obat-obatan
• Bahan-bahan keperluan rumah tangga ( Household poison )
Oleh karena anak kecil lebih sering berada dirumah maka keracunan yang
terjadi pada anak biasanya disebabkan oleh bahan-bahan yang ada dirumah
atau
sekitar rumah.
Di RSUD dr. Soetomo keracunan yang paling sering terjadi adalah keracunan
minyak tanah ( > 45% ) sama seperti laporan dari center-center lain.
Penatalaksanaan keracunan
I. Tindakan emergensi :
Airway : Bebaskan jalan nafas, kalau perlu lakukan intubasi.
Breathing : Berikan pernafasan buatan bila penderita tidak bernafas
spontan
atau pernapasan tidak adekuat.
Circulation: Pasang infus bila keadaan penderita gawat dan perbaiki
perfusi
jaringan.
II. Identifikasi penyebab keracunan.
Bila mungkin lakukan identifikasi penyebab keracunan, tapi hendaknya usaha
mencari penyebab keracunan ini tidak sampai menunda usaha-usaha
penyelamatan
penderita yang harus segera dilakukan.
III. Eliminasi racun.
1. Racun yang ditelan
1. Rangsang muntah
Akan sangat bermanfaat bila dilakukan dalam 1 jam pertama sesudah menelan
bahan beracun, bila sudah lebih dari 1 jam tidak perlu dilakukan rangsang
muntah kecuali bila bahan beracun tersebut mempunyai efek yang menghambat
motilitas ( memperpanjang pengosongan ) lambung.
Rangsang muntah dapat dilakukan secara mekanis dengan merangsang palatum
mole atau dinding belakang faring,atau dapat dilakukan dengan pemberian
obat- obatan :
1. Sirup Ipecac
Dapat diberikan pada anak diatas 6 bulan.
Pada anak usia 6 - 12 bulan 10 ml
1- 12 tahun 15 ml
> 12 tahun 30 ml
Pemberian sirup ipecac diikuti dengan pemberian 200 ml air putih. Bila
sesudah 20 menit tidak terjadi muntah pada anak diatas 1 tahun pemberian
ipecac dapat diulangi.
2. Apomorphine
Sangat efektif dengan tingkat keberhasilan hampir 100%,dapat menyebabkan
muntah dalam 2 - 5 menit. Dapat diberikan dengan dosis 0,07 mg/kg BB
secara
subkutan.
Kontraindikasi rangsang muntah :
1. Keracunan hidrokarbon, kecuali bila hidrokarbon tersebut
mengandung
bahan-bahan yang berbahaya seperti camphor, produk-produk yang mengandung
halogenat atau aromatik, logam berat dan pestisida.
2. Keracunan bahan korossif
3. Keracunan bahan-2 perangsang CNS ( CNS stimulant , seperti
strichnin
)4. Penderita kejang
5. Penderita dengan gangguan kesadaran
1. Kumbah lambung
Kumbah lambung akan berguna bila dilakukan dalam 1-2 jam sesudah menelan
bahan beracun, kecuali bila menelan bahan yang dapat menghambat
pengosongan
lambung.
Kumbah lambung seperti pada rangsang muntah tidak boleh dilakukan pada :•
Keracunan bahan korosif
• Keracunan hidrokarbon
• Kejang
Pada penderita dengan gangguan kesadaran atau penderita- penderita dengan
resiko aspirasi jalan nafas harus dilindungi dengan cara pemasangan pipa
endotracheal.
Penderita diletakkan dalam posisi trendelenburg dan miring kekiri,
kemudian
di masukkan pipa orogastrik dengan ukuran 24 - 36 Fr, pencucian lambung
dilakukan dengan cairan garam fisiologis ( normal saline/ PZ ) atau ½
normal
saline 100 ml atau kurang berulang-ulang sampai bersih.
3. Pemberian Norit ( activated charcoal )
Jangan diberikan bersama obat muntah, pemberian norit harus menunggu
paling
tidak 30 - 60 menit sesudah emesis.
Dosis 1 gram/kg BB dan bisa diulang tiap 2 - 4 jam bila diperlukan,
diberikan per oral atau melalui pipa nasogastrik.
Indikasi pemberian norit untuk keracunan :
• Obat2 analgesik/ antiinflammasi : acetamenophen, salisilat,
antiinflamasi non steroid,morphine,propoxyphene.
• Anticonvulsants/ sedative : barbiturat, carbamazepine,
chlordiazepoxide, diazepam phenytoin, sodium valproate.
• Lain-lain : amphetamine, chlorpheniramine, cocaine, digitalis,
quinine, theophylline, cyclic anti - depressants
Norit tidak efektif pada keracunan Fe, lithium, cyanida, asam basa kuat
dan
alkohol.
4. Catharsis
Efektivitasnya masih dipertanyakan.
Jangan diberikan bila ada gagal ginjal,diare yang berat ( severe diarrhea
),
ileus paralitik atau trauma abdomen.
5. Diuretika paksa ( Forced diuretic )
Diberikan pada keracunan salisilat dan phenobarbital ( alkalinisasi urine
).Tujuan adalah untuk mendapatkan produksi urine 5,0 ml/kg/jam,hati-hati
jangan sampai terjadi overload cairan.
Harus dilakukan monitor dari elektrolit serum pada pemberian diuresis
paksa.
Kontraindikasi : udema otak dan gagal ginjal
6. Dialysis
Hanya dilakukan bila usaha-usaha lain sudah tidak membawa hasil.
Bermanfaat hanya pada bahan beracun yang bisa melewati filter dialisis (dialysa ble toxin ) seperti phenobarbital, salisilat, theophylline,
methanol, ethylene glycol dan lithium.
Dialysis dilakukan bila :
• Asidosis berat
• Gagal ginjal
• Ada gejala gangguan visus
• Tidak ada respon terhadap tindakan pengobatan.
7. Hemoperfusi masih merupakan kontroversi dan jarang digunakan.
2. Racun yang disuntikkan atau sengatan
• Immobilisasi
• Pemasangan torniquet diproksimal dari suntikan
• Berikan antidotum bila ada
3. Racun pada kulit dan mata
Lepaskan semua yang dipakai kemudian bersihkan dengan sabun dan siram
dengan
air yang mengalir selama 15 menit.
Jangan diberi antidotum.
4. Racun yang dihisap melalui saluran nafas
Keluarkan penderita dari ruang yang mengandung gas racun.
Berikan oksigen. Kalau perlu lakukan pernafasan buatan.
IV. Pemberan antidotum kalau mungkin
V. Pengobatan Supportif
• Pemberian cairan dan elektrolit
• Perhatikan nutrisi penderita
• Pengobatan simtomatik ( kejang, hipoglikemia, kelainan
elektrolit
dsb.)
ASKEP ATRESIA ANI
1. Pengertian Atresia Ani
Atresia Ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforate meliputi anus, rectum atau keduanya (Betz. Ed 3 tahun 2002)Atresia ini atau anus imperforate adalah tidak terjadinya perforasi membran yang memisahkan bagian entoderm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rectum. (sumber Purwanto. 2001 RSCM)Atresia Ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran anus (Donna L. Wong, 520 : 2003).Atresia berasal dari bahasa Yunani, a artinya tidak ada, trepis artinya nutrisi atau makanan. Dalam istilah kedokteran atresia itu sendiri adalah keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal atau organ tubular secara kongenital disebut juga clausura. Dengan kata lain tidak adanya lubang di tempat yang seharusnya berlubang atau buntunya saluran atau rongga tubuh, hal ini bisa terjadi karena bawaan sejak lahir atau terjadi kemudian karena proses penyakit yang mengenai saluran itu. Atresia dapat terjadi pada seluruh saluran tubuh, misalnya atresia ani. Atresia ani yaitu tidak berlubangnya dubur. Atresia ani memiliki nama lain yaitu anus imperforata. Jika atresia terjadi maka hampir selalu memerlukan tindakan operasi untuk membuat saluran seperti keadaan normalnyaMenurut Ladd dan Gross (1966) anus imperforata dalam 4 golongan, yaitu:
1. Stenosis rektum yang lebih rendah atau pada anus
2. Membran anus yang menetap
3. Anus imperforata dan ujung rektum yang buntu terletak pada bermacam-macam jarak dari peritoneum
4. Lubang anus yang terpisah dengan ujung
2. Etiologi
Atresia dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur
2. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu/3 bulan
3. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat sampai keenam usia kehamilan.
3. Patofisiologi
Atresia ani atau anus imperforate dapat disebabkan karena :
1) Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik
2) Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur
3) Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau tiga bulan
4) Berkaitan dengan sindrom down
5) Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan
Terdapat tiga macam letak
Tinggi (supralevator) → rektum berakhir di atas M.Levator ani (m.puborektalis) dengan jarak antara ujung buntu rectum dengan kulit perineum >1 cm. Letak upralevator biasanya disertai dengan fistel ke saluran kencing atau saluran genital
Intermediate → rectum terletak pada m.levator ani tapi tidak menembusnya
Rendah → rectum berakhir di bawah m.levator ani sehingga jarak antara kulit dan ujung rectum paling jauh 1 cm.
Pada wanita 90% dengan fistula ke vagina/perineum
Pada laki-laki umumnya letak tinggi, bila ada fistula ke traktus urinarius
4. Manifestasi Klinis
1) Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.
2) Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rectal pada bayi.
3) Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang salah letaknya.
4) Distensi bertahap dan adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak ada fistula).
5) Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.
6) Pada pemeriksaan rectal touché terdapat adanya membran anal.
7) Perut kembung.
(Betz. Ed 7. 2002)
5. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita atresia ani antara lain :
a. Asidosis hiperkioremia.
b. Infeksi saluran kemih yang bisa berkepanjangan.
c. Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah).
d. Komplikasi jangka panjang.
- Eversi mukosa anal
- Stenosis (akibat kontriksi jaringan perut dianastomosis)
e. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
f. Inkontinensia (akibat stenosis awal atau impaksi)
g. Prolaps mukosa anorektal.
h. Fistula kambuan (karena ketegangan diare pembedahan dan infeksi)
(Ngustiyah, 1997 : 248)
6. Klasifikasi
Klasifikasi atresia ani :
1. Anal stenosis adalah terjadinya penyempitan daerah anus sehingga feses tidak dapat keluar.
2. Membranosus atresia adalah terdapat membran pada anus.
3. Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara rectum dengan anus.
4. Rectal atresia adalah tidak memiliki rectum
(Wong, Whaley. 1985).
7. Penatalaksanaan Medis
a. Pembedahan
Terapi pembedahan pada bayi baru lahir bervariasi sesuai dengan keparahan kelainan. Semakin tinggi gangguan, semakin rumit prosedur pengobatannya. Untuk kelainan dilakukan kolostomi beberapa lahir, kemudian anoplasti perineal yaitu dibuat anus permanen (prosedur penarikan perineum abnormal) dilakukan pada bayi berusia 12 bulan. Pembedahan ini dilakukan pada usia 12 bulan dimaksudkan untuk memberi waktu pada pelvis untuk membesar dan pada otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi untuk menambah berat badan dan bertambah baik status nutrisnya. Gangguan ringan diatas dengan menarik kantong rectal melalui afingter sampai lubang pada kulit anal fistula, bila ada harus tutup kelainan membranosa hanya memerlukan tindakan pembedahan yang minimal membran tersebut dilubangi degan hemostratau skapel
b. Pengobatan
1) Aksisi membran anal (membuat anus buatan)
2) Fiktusi yaitu dengan melakukan kolostomi sementara dan setelah 3 bulan dilakukan korksi sekaligus (pembuat anus permanen)(Staf Pengajar FKUI. 205)
8. Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan rectal digital dan visual adalah pemeriksaan diagnostik yang umum dilakukan pada gangguan ini.
b) Jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk memeriksa adanya sel-sel epitel mekonium.
c) Pemeriksaan sinyal X lateral infeksi (teknik wangensteen-rice) dapat menunjukkan adanya kumpulan udara dalam ujung rectum yang buntu pada mekonium yang mencegah udara sampai keujung kantong rectal.
d) Ultrasound dapat digunakan untuk menentukan letak rectal kantong.
e) Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rectal dengan menusukan jarum tersebut sampai melakukan aspirasi, jika mekonium tidak keluar pada saat jarum sudah masuk 1,5 cm Derek tersebut dianggap defek tingkat tinggi.
f) Pemeriksaan radiologis dapat ditemukan
a. Udara dalam usus berhenti tiba-tiba yang menandakan obstruksi di daerah tersebut.
b. Tidak ada bayangan udara dalam rongga pelvis pada bagian baru lahir dan gambaran ini harus dipikirkan kemungkinan atresia reftil/anus impoefartus, pada bayi dengan anus impoefartus. Udara berhenti tiba-tiba di daerah sigmoid, kolon/rectum.
c. Dibuat foto anterpisterior (AP) dan lateral. Bayi diangkat dengan kepala dibawah dan kaki diatas pada anus benda bang radio-opak, sehingga pada foto daerah antara benda radio-opak dengan dengan bayangan udara tertinggi dapat diukur.
Hisprung atau Mega Colon
Pengertian
Ada beberapa pengertian mengenai Hisprung atau Mega Colon, namun pada intinya sama an ipenyakit yang disebabkan oleh obstruksi mekanis yang disebabkan oleh tidak adekuatnya motilitas pada usus sehingga tidak ada evakuasi usus spontan dan tidak mampunya spinkter rectum berelaksasi.
Hirschsprung atau Mega Colon adalah penyakit yang tidak adanya sel – sel ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid Colon. Dan ketidak adaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya evakuasi usus spontan ( Betz, Cecily & Sowden : 2000 )
Penyakit Hirschsprung atau Mega Kolon adalah kelainan bawaan penyebab gangguan pasase usus tersering pada neonatus, dan kebanyakan terjadi pada bayi 3 aterm dengan Kg, lebih banyak laki – laki dari pada perempuan. ( Ariefberat lahir Mansjoeer, 2000
Etiologi
Adapun yang menjadi penyebab Hirschsprung atau Mega Colon itu sendiri adalah diduga terjadi karena faktor genetik dan lingkungan sering terjadi pada anak dengan Down syndrom, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus.
Patofisiologi
Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya kerusakan primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon distal. Segmen aganglionic hampir selalu ada dalam rectum dan bagian proksimal pada usus besar.
Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga pendorong ( peristaltik ) dan tidak adanya evakuasi usus spontan serta spinkter rectum tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses secara normal yang menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna.
Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon ( Betz, Cecily & Sowden, 2002:197).
Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol kontraksi dan relaksasi peristaltik secara normal.Isi usus mendorong ke segmen aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan menyebabkan dibagian Colon tersebut melebar ( Price, S & Wilson, 1995 : 141 ).
Penyebab
Kondisi ini dapat merupakan gejala dari luka, penyakit, alergi (fructose, lactose), memakan makanan yang asam,pedas,atau bersantan secara berlebihan, dan kelebihan vitamin C dan biasanya disertai sakit perut, dan seringkali mual dan muntah. Ada beberapa kondisi lain yang melibatkan tapi tidak semua gejala diare, dan definisi resmi medis dari diare adalah defekasi yang melebihi 200 gram per hari.Hal ini terjadi ketika cairan yang tidak mencukupi diserap oleh usus besar. Sebagai bagian dari proses digestasi, atau karena masukan cairan, makanan tercampur dengan sejumlah besar air. Oleh karena itu makanan yang dicerna terdiri dari cairan sebelum mencapai usus besar. Usus besar menyerap air, meninggalkan material yang lain sebagai kotoran yang setengah padat. Bila usus besar rusak / radang, penyerapan tidak terjadi dan hasilnya adalah kotoran yang berair.Diare kebanyakan disebabkan oleh beberapa infeksi virus tetapi juga seringkali akibat dari racun bakteria. Dalam kondisi hidup yang bersih dan dengan makanan mencukupi dan air tersedia, pasien yang sehat biasanya sembuh dari infeksi virus umum dalam beberapa hari dan paling lama satu minggu. Namun untuk individu yang sakit atau kurang gizi, diare dapat menyebabkan dehidrasi yang parah dan dapat mengancam-jiwa bila tanpa perawatan.Diare dapat menjadi gejala penyakit yang lebih serius, seperti disentri, kolera atau botulisme, dan juga dapat menjadi indikasi sindrom kronis seperti penyakit Crohn. Meskipun penderita apendisitis umumnya tidak mengalami diare, diare menjadi gejala umum radang usus buntu.Diare juga dapat disebabkan oleh konsumsi alkohol yang berlebihan, terutama dalam seseorang yang tidak cukup makan
GejalaGejala yang biasanya ditemukan adalah buang air besar terus menerus disertai mual dan muntah. Tetapi gejala lainnya yang dapat timbul antara lain pegal pada punggung,dan perut berbunyi.
PerawatanPerawatan untuk diare melibatkan pasien mengonsumsi sejumlah air yang mencukupi untuk menggantikan yang hilang, lebih baik bila dicampur dengan elektrolit untuk menyediakan garam yang dibutuhkan dan sejumlah nutrisi. Untuk banyak orang, perawatan lebih lanjut dan medikasi resmi tidak dibutuhkan.
Diare di bawah ini biasanya diperlukan pengawasan medis:Diare pada balita
• Diare menengah atau berat pada anak-anak
• Diare yang bercampur dengan darah.
• Diare yang terus terjadi lebih dari 2 minggu.
• Diare yang disertai dengan penyakit umum lainnya seperti sakit perut, demam, kehilangan berat badan, dan lain-lain.
• Diare pada orang bepergian (kemungkinan terjadi infeksi yang eksotis seperti parasit)
• Diare dalam institusi seperti rumah sakit, perawatan anak, institut kesehatan mental.
Keracunan Pada anak
Pendahuluan
Keracunan adalah masuknya zat racun kedalam tubuh baik melalui saluran
pencernaan, saluran nafas, atau melalui kulit atau mukosa yang menimbulkan
gejala klinis. Angka yang pasti dari kejadian keracunan di Indonesia belum
diketahui, meskipun banyak dilaporkan kejadian-kejadian keracunan di
beberapa rumah sakit tetapi angka ini tidak menggambarkan kejadian yang
sebenarnya didalam masyarakat.
Di Amerika Serikat kecelakaan dan keracunan merupakan penyebab utama
kematian anak-anak. Lebih kurang 60% dari paparan keracunan yang
dilaporkan
terjadi pada anak berumur < 6 tahun, dengan kematian < 4%.
Di RSCM/FK UI Jakarta dilaporkan 45 penderita anak yang mengalami
keracunan
setiap tahunnya, sedang di RS dr. Soetomo Surabaya 15 - 30 penderita anak
yang datang untuk mendapatkan pengobatan karena keracunan setiap
tahun,yang
sebagian besar karena keracunan hidrokarbon ( 45 - 60%), keracunan
makanan,
keracunan obat-obatan, detergen dan bahan-bahan rumah tangga yang lain.
Meskipun keracunan dapat terjadi melalui saluran cerna, saluran nafas,
kulit
dan mukosa atau parenteral tetapi yang terbanyak racun masuk melalui
saluran
cerna ( 75 % ) dan inhalasi ( 14% ).Keracunan merupakan suatu keadaan
gawat
darurat medis yang membutuhkan tindakan segera, keterlambatan dalam
memberikan pertolongan dapat membawa akibat yang fatal.
Pada dasarnya keracunan pada anak tidaklah berbeda dengan pada dewasa,
tapi
oleh karena secara alamiah terdapat perbedaan akibat dari tingkat
perkembangan fisik yang masih sedang tumbuh, kepribadian dan emosi yang
sedang berkembang, sehingga terdapat beberapa perbedaan dalam kejadian,
jenis, lokasi serta motif dari keracunan.
Mengingat resiko keracunan yang sangat berbahaya dan bahkan dapat
menyebabkan kematian dan mengingat bahwa keracunan pada anak sebagian
besar
adalah karena kecelakaan dan dapat dicegah, maka usaha-usaha pencegahan
hendaknya mendapat perhatian dan prioritas utama dalam penanggulangan
keracunan pada anak.
Keracunan pada anak
Anak bukanlah orang dewasa dalam bentuk kecil, terdapat perbedaan -
perbedaan baik fisik, fisiologis maupun psikologis dengan orang dewasa.
Fungsi organ-organ tubuh belum matang, demikian pula dengan fungsi
pertahanan tubuh yang belum sempurna. Pada anak terdapat faktor-faktor
yang
mempermudah terjadinya keracunan,yaitu :
•Perkembangan kepribadian anak usia 0 - 5 tahun masih dalam fase
oral sehingga ada kecenderungan untuk memasukkan segala yang dipegang
kedalam mulutnya.
•Anak-anak masih belum mengetahui apa yang berbahaya bagi dirinya
(termasuk disini anak dengan retardasi mental.
•Anak-anak mempunyai rasa ingin tahu yang besar.
•Anak-anak pada usia ini mempunyai sifat negativistik yaitu
selalu
menentang perintah atau melanggar larangan.
Oleh karena sifat-sifat tersebut maka keracunan pada anak lebih sering
karena kecelakaan (accidental poisoning ),sedang pada dewasa keracunan
lebih
sering karena pekerjaannya (occupational poisoning) dan pembunuhan atau
usaha bunuh diri.
Pada anak kecil jarang terjadi keracunan karena usaha bunuh diri atau
pembunuhan, walaupun pernah dilaporkan melalui media massa adanya
pembunuhan
anak dengan jalan memberi racun oleh ibu yang putus asa sebelum kemudian
dia
bunuh diri.
Penyebab keracun n
Pada dasarnya semua a bahan dapat menyebabkan keracunan tergantung seberapa
banyak bahan tersebut masuk kedalam tubuh. Bahan-bahan yang dapat
menyebabkan keracunaan adalah :
• Makanan
• Bahan-bahan kimia
• Obat-obatan
• Bahan-bahan keperluan rumah tangga ( Household poison )
Oleh karena anak kecil lebih sering berada dirumah maka keracunan yang
terjadi pada anak biasanya disebabkan oleh bahan-bahan yang ada dirumah
atau
sekitar rumah.
Di RSUD dr. Soetomo keracunan yang paling sering terjadi adalah keracunan
minyak tanah ( > 45% ) sama seperti laporan dari center-center lain.
Penatalaksanaan keracunan
I. Tindakan emergensi :
Airway : Bebaskan jalan nafas, kalau perlu lakukan intubasi.
Breathing : Berikan pernafasan buatan bila penderita tidak bernafas
spontan
atau pernapasan tidak adekuat.
Circulation: Pasang infus bila keadaan penderita gawat dan perbaiki
perfusi
jaringan.
II. Identifikasi penyebab keracunan.
Bila mungkin lakukan identifikasi penyebab keracunan, tapi hendaknya usaha
mencari penyebab keracunan ini tidak sampai menunda usaha-usaha
penyelamatan
penderita yang harus segera dilakukan.
III. Eliminasi racun.
1. Racun yang ditelan
1. Rangsang muntah
Akan sangat bermanfaat bila dilakukan dalam 1 jam pertama sesudah menelan
bahan beracun, bila sudah lebih dari 1 jam tidak perlu dilakukan rangsang
muntah kecuali bila bahan beracun tersebut mempunyai efek yang menghambat
motilitas ( memperpanjang pengosongan ) lambung.
Rangsang muntah dapat dilakukan secara mekanis dengan merangsang palatum
mole atau dinding belakang faring,atau dapat dilakukan dengan pemberian
obat- obatan :
1. Sirup Ipecac
Dapat diberikan pada anak diatas 6 bulan.
Pada anak usia 6 - 12 bulan 10 ml
1- 12 tahun 15 ml
> 12 tahun 30 ml
Pemberian sirup ipecac diikuti dengan pemberian 200 ml air putih. Bila
sesudah 20 menit tidak terjadi muntah pada anak diatas 1 tahun pemberian
ipecac dapat diulangi.
2. Apomorphine
Sangat efektif dengan tingkat keberhasilan hampir 100%,dapat menyebabkan
muntah dalam 2 - 5 menit. Dapat diberikan dengan dosis 0,07 mg/kg BB
secara
subkutan.
Kontraindikasi rangsang muntah :
1. Keracunan hidrokarbon, kecuali bila hidrokarbon tersebut
mengandung
bahan-bahan yang berbahaya seperti camphor, produk-produk yang mengandung
halogenat atau aromatik, logam berat dan pestisida.
2. Keracunan bahan korossif
3. Keracunan bahan-2 perangsang CNS ( CNS stimulant , seperti
strichnin
)4. Penderita kejang
5. Penderita dengan gangguan kesadaran
1. Kumbah lambung
Kumbah lambung akan berguna bila dilakukan dalam 1-2 jam sesudah menelan
bahan beracun, kecuali bila menelan bahan yang dapat menghambat
pengosongan
lambung.
Kumbah lambung seperti pada rangsang muntah tidak boleh dilakukan pada :•
Keracunan bahan korosif
• Keracunan hidrokarbon
• Kejang
Pada penderita dengan gangguan kesadaran atau penderita- penderita dengan
resiko aspirasi jalan nafas harus dilindungi dengan cara pemasangan pipa
endotracheal.
Penderita diletakkan dalam posisi trendelenburg dan miring kekiri,
kemudian
di masukkan pipa orogastrik dengan ukuran 24 - 36 Fr, pencucian lambung
dilakukan dengan cairan garam fisiologis ( normal saline/ PZ ) atau ½
normal
saline 100 ml atau kurang berulang-ulang sampai bersih.
3. Pemberian Norit ( activated charcoal )
Jangan diberikan bersama obat muntah, pemberian norit harus menunggu
paling
tidak 30 - 60 menit sesudah emesis.
Dosis 1 gram/kg BB dan bisa diulang tiap 2 - 4 jam bila diperlukan,
diberikan per oral atau melalui pipa nasogastrik.
Indikasi pemberian norit untuk keracunan :
• Obat2 analgesik/ antiinflammasi : acetamenophen, salisilat,
antiinflamasi non steroid,morphine,propoxyphene.
• Anticonvulsants/ sedative : barbiturat, carbamazepine,
chlordiazepoxide, diazepam phenytoin, sodium valproate.
• Lain-lain : amphetamine, chlorpheniramine, cocaine, digitalis,
quinine, theophylline, cyclic anti - depressants
Norit tidak efektif pada keracunan Fe, lithium, cyanida, asam basa kuat
dan
alkohol.
4. Catharsis
Efektivitasnya masih dipertanyakan.
Jangan diberikan bila ada gagal ginjal,diare yang berat ( severe diarrhea
),
ileus paralitik atau trauma abdomen.
5. Diuretika paksa ( Forced diuretic )
Diberikan pada keracunan salisilat dan phenobarbital ( alkalinisasi urine
).Tujuan adalah untuk mendapatkan produksi urine 5,0 ml/kg/jam,hati-hati
jangan sampai terjadi overload cairan.
Harus dilakukan monitor dari elektrolit serum pada pemberian diuresis
paksa.
Kontraindikasi : udema otak dan gagal ginjal
6. Dialysis
Hanya dilakukan bila usaha-usaha lain sudah tidak membawa hasil.
Bermanfaat hanya pada bahan beracun yang bisa melewati filter dialisis (dialysa ble toxin ) seperti phenobarbital, salisilat, theophylline,
methanol, ethylene glycol dan lithium.
Dialysis dilakukan bila :
• Asidosis berat
• Gagal ginjal
• Ada gejala gangguan visus
• Tidak ada respon terhadap tindakan pengobatan.
7. Hemoperfusi masih merupakan kontroversi dan jarang digunakan.
2. Racun yang disuntikkan atau sengatan
• Immobilisasi
• Pemasangan torniquet diproksimal dari suntikan
• Berikan antidotum bila ada
3. Racun pada kulit dan mata
Lepaskan semua yang dipakai kemudian bersihkan dengan sabun dan siram
dengan
air yang mengalir selama 15 menit.
Jangan diberi antidotum.
4. Racun yang dihisap melalui saluran nafas
Keluarkan penderita dari ruang yang mengandung gas racun.
Berikan oksigen. Kalau perlu lakukan pernafasan buatan.
IV. Pemberan antidotum kalau mungkin
V. Pengobatan Supportif
• Pemberian cairan dan elektrolit
• Perhatikan nutrisi penderita
• Pengobatan simtomatik ( kejang, hipoglikemia, kelainan
elektrolit
dsb.)
ASKEP ATRESIA ANI
1. Pengertian Atresia Ani
Atresia Ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforate meliputi anus, rectum atau keduanya (Betz. Ed 3 tahun 2002)Atresia ini atau anus imperforate adalah tidak terjadinya perforasi membran yang memisahkan bagian entoderm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rectum. (sumber Purwanto. 2001 RSCM)Atresia Ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran anus (Donna L. Wong, 520 : 2003).Atresia berasal dari bahasa Yunani, a artinya tidak ada, trepis artinya nutrisi atau makanan. Dalam istilah kedokteran atresia itu sendiri adalah keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal atau organ tubular secara kongenital disebut juga clausura. Dengan kata lain tidak adanya lubang di tempat yang seharusnya berlubang atau buntunya saluran atau rongga tubuh, hal ini bisa terjadi karena bawaan sejak lahir atau terjadi kemudian karena proses penyakit yang mengenai saluran itu. Atresia dapat terjadi pada seluruh saluran tubuh, misalnya atresia ani. Atresia ani yaitu tidak berlubangnya dubur. Atresia ani memiliki nama lain yaitu anus imperforata. Jika atresia terjadi maka hampir selalu memerlukan tindakan operasi untuk membuat saluran seperti keadaan normalnyaMenurut Ladd dan Gross (1966) anus imperforata dalam 4 golongan, yaitu:
1. Stenosis rektum yang lebih rendah atau pada anus
2. Membran anus yang menetap
3. Anus imperforata dan ujung rektum yang buntu terletak pada bermacam-macam jarak dari peritoneum
4. Lubang anus yang terpisah dengan ujung
2. Etiologi
Atresia dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur
2. Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu/3 bulan
3. Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus, rektum bagian distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat sampai keenam usia kehamilan.
3. Patofisiologi
Atresia ani atau anus imperforate dapat disebabkan karena :
1) Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik
2) Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur
3) Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau tiga bulan
4) Berkaitan dengan sindrom down
5) Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan
Terdapat tiga macam letak
Tinggi (supralevator) → rektum berakhir di atas M.Levator ani (m.puborektalis) dengan jarak antara ujung buntu rectum dengan kulit perineum >1 cm. Letak upralevator biasanya disertai dengan fistel ke saluran kencing atau saluran genital
Intermediate → rectum terletak pada m.levator ani tapi tidak menembusnya
Rendah → rectum berakhir di bawah m.levator ani sehingga jarak antara kulit dan ujung rectum paling jauh 1 cm.
Pada wanita 90% dengan fistula ke vagina/perineum
Pada laki-laki umumnya letak tinggi, bila ada fistula ke traktus urinarius
4. Manifestasi Klinis
1) Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.
2) Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rectal pada bayi.
3) Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang salah letaknya.
4) Distensi bertahap dan adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak ada fistula).
5) Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.
6) Pada pemeriksaan rectal touché terdapat adanya membran anal.
7) Perut kembung.
(Betz. Ed 7. 2002)
5. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita atresia ani antara lain :
a. Asidosis hiperkioremia.
b. Infeksi saluran kemih yang bisa berkepanjangan.
c. Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah).
d. Komplikasi jangka panjang.
- Eversi mukosa anal
- Stenosis (akibat kontriksi jaringan perut dianastomosis)
e. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
f. Inkontinensia (akibat stenosis awal atau impaksi)
g. Prolaps mukosa anorektal.
h. Fistula kambuan (karena ketegangan diare pembedahan dan infeksi)
(Ngustiyah, 1997 : 248)
6. Klasifikasi
Klasifikasi atresia ani :
1. Anal stenosis adalah terjadinya penyempitan daerah anus sehingga feses tidak dapat keluar.
2. Membranosus atresia adalah terdapat membran pada anus.
3. Anal agenesis adalah memiliki anus tetapi ada daging diantara rectum dengan anus.
4. Rectal atresia adalah tidak memiliki rectum
(Wong, Whaley. 1985).
7. Penatalaksanaan Medis
a. Pembedahan
Terapi pembedahan pada bayi baru lahir bervariasi sesuai dengan keparahan kelainan. Semakin tinggi gangguan, semakin rumit prosedur pengobatannya. Untuk kelainan dilakukan kolostomi beberapa lahir, kemudian anoplasti perineal yaitu dibuat anus permanen (prosedur penarikan perineum abnormal) dilakukan pada bayi berusia 12 bulan. Pembedahan ini dilakukan pada usia 12 bulan dimaksudkan untuk memberi waktu pada pelvis untuk membesar dan pada otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi untuk menambah berat badan dan bertambah baik status nutrisnya. Gangguan ringan diatas dengan menarik kantong rectal melalui afingter sampai lubang pada kulit anal fistula, bila ada harus tutup kelainan membranosa hanya memerlukan tindakan pembedahan yang minimal membran tersebut dilubangi degan hemostratau skapel
b. Pengobatan
1) Aksisi membran anal (membuat anus buatan)
2) Fiktusi yaitu dengan melakukan kolostomi sementara dan setelah 3 bulan dilakukan korksi sekaligus (pembuat anus permanen)(Staf Pengajar FKUI. 205)
8. Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan rectal digital dan visual adalah pemeriksaan diagnostik yang umum dilakukan pada gangguan ini.
b) Jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk memeriksa adanya sel-sel epitel mekonium.
c) Pemeriksaan sinyal X lateral infeksi (teknik wangensteen-rice) dapat menunjukkan adanya kumpulan udara dalam ujung rectum yang buntu pada mekonium yang mencegah udara sampai keujung kantong rectal.
d) Ultrasound dapat digunakan untuk menentukan letak rectal kantong.
e) Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rectal dengan menusukan jarum tersebut sampai melakukan aspirasi, jika mekonium tidak keluar pada saat jarum sudah masuk 1,5 cm Derek tersebut dianggap defek tingkat tinggi.
f) Pemeriksaan radiologis dapat ditemukan
a. Udara dalam usus berhenti tiba-tiba yang menandakan obstruksi di daerah tersebut.
b. Tidak ada bayangan udara dalam rongga pelvis pada bagian baru lahir dan gambaran ini harus dipikirkan kemungkinan atresia reftil/anus impoefartus, pada bayi dengan anus impoefartus. Udara berhenti tiba-tiba di daerah sigmoid, kolon/rectum.
c. Dibuat foto anterpisterior (AP) dan lateral. Bayi diangkat dengan kepala dibawah dan kaki diatas pada anus benda bang radio-opak, sehingga pada foto daerah antara benda radio-opak dengan dengan bayangan udara tertinggi dapat diukur.
Hisprung atau Mega Colon
Pengertian
Ada beberapa pengertian mengenai Hisprung atau Mega Colon, namun pada intinya sama an ipenyakit yang disebabkan oleh obstruksi mekanis yang disebabkan oleh tidak adekuatnya motilitas pada usus sehingga tidak ada evakuasi usus spontan dan tidak mampunya spinkter rectum berelaksasi.
Hirschsprung atau Mega Colon adalah penyakit yang tidak adanya sel – sel ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid Colon. Dan ketidak adaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya evakuasi usus spontan ( Betz, Cecily & Sowden : 2000 )
Penyakit Hirschsprung atau Mega Kolon adalah kelainan bawaan penyebab gangguan pasase usus tersering pada neonatus, dan kebanyakan terjadi pada bayi 3 aterm dengan Kg, lebih banyak laki – laki dari pada perempuan. ( Ariefberat lahir Mansjoeer, 2000
Etiologi
Adapun yang menjadi penyebab Hirschsprung atau Mega Colon itu sendiri adalah diduga terjadi karena faktor genetik dan lingkungan sering terjadi pada anak dengan Down syndrom, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus.
Patofisiologi
Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya kerusakan primer dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon distal. Segmen aganglionic hampir selalu ada dalam rectum dan bagian proksimal pada usus besar.
Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga pendorong ( peristaltik ) dan tidak adanya evakuasi usus spontan serta spinkter rectum tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses secara normal yang menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna.
Bagian proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon ( Betz, Cecily & Sowden, 2002:197).
Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol kontraksi dan relaksasi peristaltik secara normal.Isi usus mendorong ke segmen aganglionik dan feses terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya bagian usus yang proksimal terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan menyebabkan dibagian Colon tersebut melebar ( Price, S & Wilson, 1995 : 141 ).
I
PRE-FACE
"French Periodical Pills." An example of a clandestine advertisement published in an 1845 edition of the Boston Daily Times.\
Induced abortion can be traced to ancient times.[85] There is evidence to suggest that, historically, pregnancies were terminated through a number of methods, including the administration of abortifacient herbs, the use of sharpened implements, the application of abdominal pressure, and other techniques.
In ancient Greece abortion was not illegal. The medical texts of Hippocratic Corpus (c. 400 BCE) contain descriptions of abortive techniques and notes on the risks they posed to a woman's health.[86] Aristotle, in his treatise on government Politics (350 BCE), condemns infanticide as a means of population control. He preferred abortion in such cases, with the restriction[87] "[that it] must be practised on it before it has developed sensation and life; for the line between lawful and unlawful abortion will be marked by the fact of having sensation and being alive."[88] Soranus, a 2nd-century Greek physician, suggested in his work Gynaikeia (Gynaecology) that women wishing to abort their pregnancies should engage in energetic exercise, energetic jumping, carrying heavy objects, and riding animals. He also prescribed a number of recipes for herbal baths, pessaries, and bloodletting, but advised against the use of sharp instruments to induce miscarriage due to the risk of organ perforation. It is also believed that, in addition to using it as a contraceptive, the ancient Greeks relied upon silphium as an abortifacient. Such folk remedies, however, varied in effectiveness and were not without risk. Tansy and pennyroyal, for example, are two poisonous herbs with serious side effects that have at times been used to terminate pregnancy.
A medieval female physician, Trotula of Salerno,[90] administered a number of remedies for the “retention of menstrua,” which was sometimes a code for early abortifacients.[91] Pope Sixtus V (1585–90) is noted as the first Pope to declare that abortion is homicide regardless of the stage of pregnancy.[92] Abortion in the 19th century continued, despite bans in both the United Kingdom and the United States, as the disguised, but nonetheless open, advertisement of services in the Victorian era suggests.
In the 20th century the Soviet Union (1919), Iceland (1935) and Sweden (1938) were among the first countries to legalize certain or all forms of abortion. In 1935 Nazi Germany, a law was passed permitting abortions for those deemed "hereditarily ill," while women considered of German stock were specifically prohibited from having abortions.
However, the procedure remained relatively rare until the late 1960s. In late 1960s and early 1970s, due to a confluence of factors, the number of abortions increased worldwide. In West Germany, the number of reported abortions increased from 2,800 in 1968 to 87,702 in 1980.[99] In the United States, some sources show an even greater increase, from 4,600 in 1968 to 1.5 million in 1980. However, the fact that abortion remained illegal in many states prior to the landmark 1973 decision of Roe v. Wade may have affected the number of reported abortions prior to 1973.
CONTENT LIST
COVER
PRE-FACE
CONTENT LIST
I PREVIOUS
II SUBTANT
ABOTION
III CLOSING
A. CONCLUSION
B. IDEA
REFRENCES
II
DISCUSSE
Abortion is medically defined as the termination of a pregnancy by the removal or expulsion of a fetus or embryo from the uterus before it is viable. An abortion can occur spontaneously due to complications during pregnancy, or can be induced, in humans and in other species. In the context of human pregnancies, an induced abortion may be referred to as either therapeutic or elective. The term abortion most commonly refers to the induced abortion of a human pregnancy; spontaneous abortions are usually termed miscarriages.
Abortion, when performed in the developed world in jurisdictions where the procedure is legal, is among the safest procedures in medicine. However, unsafe abortions (those performed by persons without proper training or outside of a medical environment) result in approximately 70 thousand maternal deaths and 5 million disabilities per year globally. An estimated 42 million abortions are performed globally each year, with 20 million of those performed unsafely. Forty percent of the world's women are able to access therapeutic and elective abortions within gestational limits.
Induced abortion has a long history and has been facilitated by various methods including herbal abortifacients, the use of sharpened tools, physical trauma, and other traditional methods. Contemporary medicine utilizes medications and surgical procedures to induce abortion. The legality, prevalence, cultural status, and religious status of abortion vary substantially around the world. In many parts of the world there is prominent and divisive public controversy over the ethical and legal issues of abortion. Abortion and abortion-related issues feature prominently in the national politics in many nations, often involving the opposing pro-life and pro-choice worldwide social movements (both self-named). Incidence of abortion has declined worldwide as access to family planning education and contraceptive services has increased.[4]
Induced
Approximately 205 million pregnancies occur each year worldwide. Over a third are unintended and about a fifth end in induced abortion. A pregnancy can be intentionally aborted in several ways. The manner selected often depends upon the gestational age of the embryo or fetus, which increases in size as the pregnancy progresses. Specific procedures may also be selected due to legality, regional availability, and doctor-patient preference.
Reasons for procuring induced abortions are typically characterized as either therapeutic or elective. An abortion is medically referred to as a therapeutic abortion when it is performed to save the life of the pregnant woman; prevent harm to the woman's physical or mental health; terminate a pregnancy where indications are that the child will have a significantly increased chance of premature morbidity or mortality or be otherwise disabled; or to selectively reduce the number of fetuses to lessen health risks associated with multiple pregnancy.` An abortion is referred to as an elective or voluntary abortion when it is performed at the request of the woman for non-medical reasons.[9]
Spontaneous
Spontaneous abortion, also known as miscarriage, is the unintentional expulsion of an embryo or fetus before the 20th to 22nd week of gestation A pregnancy that ends before 37 weeks of gestation resulting in a live-born infant is known as a "premature birth" or a "preterm birth". When a fetus dies in utero after viability, or during delivery, it is usually termed "stillborn".[11] Premature births and stillbirths are generally not considered to be miscarriages although usage of these terms can sometimes overlap.
Only 30 to 50% of conceptions progress past the first trimester. The vast majority of those that do not progress are lost before the woman is aware of the conception,]and many pregnancies are lost before medical practitioners have the ability to detect the presence of an embryo.Between 15% and 30% of known pregnancies end in clinically apparent miscarriage, depending upon the age and health of the pregnant woman.
The most common cause of spontaneous abortion during the first trimester is chromosomal abnormalities of the embryo/fetus,[9][15] accounting for at least 50% of sampled early pregnancy losses.[16] Other causes include vascular disease (such as lupus), diabetes, other hormonal problems, infection, and abnormalities of the uterus.[15] Advancing maternal age and a patient history of previous spontaneous abortions are the two leading factors associated with a greater risk of spontaneous abortion.[16] A spontaneous abortion can also be caused by accidental trauma; intentional trauma or stress to cause miscarriage is considered induced abortion or feticide.[17]
Induction methods
Gestational age may determine which abortion methods are practiced.
Medical
"Medical abortions" are non-surgical abortions that use pharmaceutical drugs, categorically called abortifacients. In 2005, medical abortions constituted 13% of all abortions in the United States;[18] in 2010 the figure increased to 17%.Combined regimens include methotrexate or mifepristone, followed by a prostaglandin (either misoprostol or gemeprost: misoprostol is used in the U.S.; gemeprost is used in the UK and Sweden.) When used within 49 days gestation, approximately 92% of women undergoing medical abortion with a combined regimen completed it without surgical intervention.[20] Misoprostol can be used alone, but has a lower efficacy rate than combined regimens. In cases of failure of medical abortion, surgical abortion must be use to complete the procedure.
Surgical
A vacuum aspiration abortion at eight weeks gestational age (six weeks after fertilization).
1: Amniotic sac
2: Embryo
3: Uterine lining
4: Speculum
5: Vacurette
6: Attached to a suction pump
In the first 12 weeks, suction-aspiration or vacuum abortion is the most common method.[22] Manual vacuum aspiration (MVA) abortion consists of removing the fetus or embryo, placenta and membranes by suction using a manual syringe, while electric vacuum aspiration (EVA) abortion uses an electric pump. These techniques are comparable, and differ in the mechanism used to apply suction, how early in pregnancy they can be used, and whether cervical dilation is necessary. MVA, also known as "mini-suction" and "menstrual extraction", can be used in very early pregnancy, and does not require cervical dilation. Surgical techniques are sometimes referred to as 'Suction (or surgical) Termination Of Pregnancy' (STOP). From the 15th week until approximately the 26th, dilation and evacuation (D&E) is used. D&E consists of opening the cervix of the uterus and emptying it using surgical instruments and suction.
Dilation and curettage (D&C), the second most common method of surgical abortion, is a standard gynecological procedure performed for a variety of reasons, including examination of the uterine lining for possible malignancy, investigation of abnormal bleeding, and abortion. Curettage refers to cleaning the walls of the uterus with a curette. The World Health Organization recommends this procedure, also called sharp curettage, only when MVA is unavailable.
Other techniques must be used to induce abortion in the second trimester. Premature delivery can be induced with prostaglandin; this can be coupled with injecting the amniotic fluid with hypertonic solutions containing saline or urea. After the 16th week of gestation, abortions can be induced by intact dilation and extraction (IDX) (also called intrauterine cranial decompression), which requires surgical decompression of the fetus's head before evacuation. IDX is sometimes called "partial-birth abortion," which has been federally banned in the United States. A hysterotomy abortion is a procedure similar to a caesarean section and is performed under general anesthesia. It requires a smaller incision than a caesarean section and is used during later stages of pregnancy.[24]
The Royal College of Obstetricians and Gynaecologists has recommended that an injection be used to stop the fetal heart during the first phase of the surgical abortion procedure to ensure that the fetus is not born alive.
Other methods
Bas-relief at Angkor Wat, Cambodia, c. 1150, depicting a demon inducing an abortion by pounding the abdomen of a pregnant woman with a pestle.
Historically, a number of herbs reputed to possess abortifacient properties have been used in folk medicine: tansy, pennyroyal, black cohosh, and the now-extinct silphium (see history of abortion).[27] The use of herbs in such a manner can cause serious—even lethal—side effects, such as multiple organ failure, and is not recommended by physicians.
Abortion is sometimes attempted by causing trauma to the abdomen. The degree of force, if severe, can cause serious internal injuries without necessarily succeeding in inducing miscarriage.[29] Both accidental and deliberate abortions of this kind can be subject to criminal liability in many countries.[citation needed] In Southeast Asia, there is an ancient tradition of attempting abortion through forceful abdominal massage.[30] One of the bas reliefs decorating the temple of Angkor Wat in Cambodia depicts a demon performing such an abortion upon a woman who has been sent to the underworld.
Reported methods of unsafe, self-induced abortion include misuse of misoprostol, and insertion of non-surgical implements such as knitting needles and clothes hangers into the uterus. These methods are rarely seen in developed countries where surgical abortion is legal and available.
Complications
The health risks of abortion depend on whether the procedure is performed safely or unsafely. The World Health Organization defines unsafe abortions as those performed by unskilled individuals, with hazardous equipment, or in unsanitary facilities.[32]
Safe abortion
Abortion, when performed in the developed world in countries where abortion is legal, is among the safest procedures in medicine.[1][33] In the US, the risk of maternal death from abortion is 0.567 per 100,000 procedures, making abortion approximately 14 times safer than childbirth (7.06 maternal deaths per 100,000 live births).[34] The risk of abortion-related mortality increases with increasing gestational age, but remains lower than that of childbirth through at least 21 weeks' gestation.
Vacuum aspiration in the first trimester is the safest method of surgical abortion, and can be performed in a primary care office, abortion clinic, or hospital. Complications are rare and can include uterine perforation, pelvic infection, and retained products of conception requiring a second procedure to evacuate.[37] Preventive antibiotics (such as doxycycline or metronidazole) are typically given before elective abortion,[38] as they are believed to substantially reduce the risk of postoperative uterine infection.[39] Complications after second-trimester abortion are similar to those after first-trimester abortion, and depend somewhat on the method chosen. A 2008 Cochrane Library review found that dilation and evacuation was safer than other means of second-trimester abortion.
Medical abortion with mifepristone and misoprostol is effective through 49 days of gestational age.[41] It has been used in women up to 63 days of gestational age, albeit with an increased risk of failure (requiring surgical abortion).[42] Medical abortion is generally considered as safe as surgical abortion in the first trimester, but is associated with more pain and a lower success rate (requiring surgical abortion).[43] Overall, the risk of uterine infection is lower with medical than with surgical abortion,[41] although in 2005 four deaths after medical abortion were reported due to infection with Clostridium sordellii.[44] As a result, some abortion providers have begun using preventive antibiotics with medical abortion.
Unsafe abortion
In contrast, unsafe abortion is a major cause of injury and death among women worldwide. Although data are imprecise, it is estimated that approximately 20 million unsafe abortions are performed annually, with 97% taking place in developing countries.[1] Unsafe abortion is believed to result in approximately 68,000 deaths and millions of injuries annually.[1] The legal status of abortion is believed to play a major role in the frequency of unsafe abortion.[46][47] For example, the 1996 legalization of abortion in South Africa had an immediate positive impact on the frequency of abortion-related complications,[48] with abortion-related deaths dropping by more than 90%.[49] Groups such as the World Health Organization have advocated a public-health approach to addressing unsafe abortion, emphasizing the legalization of abortion, the training of medical personnel, and ensuring access to reproductive-health services.[47]
Breast cancer
Although some studies have postulated an association between abortion and breast cancer, the best available evidence at present does not support such a link. Major medical bodies, including the World Health Organization,[50] the U.S. National Cancer Institute,[51] the American Cancer Society,[52] and the Royal College of Obstetricians and Gynaecologists,[53] have concluded on the basis of existing evidence that abortion does not cause breast cancer.[54][55] Currently, the concept of a link between induced abortion and breast cancer is promoted primarily by pro-life groups.[54]
Mental health
No scientific research has demonstrated that abortion is a cause of poor mental health in the general population. However there are groups of women who may be at higher risk of coping with problems and distress following abortion.[56] Some factors in a woman's life, such as emotional attachment to the pregnancy, lack of social support, pre-existing psychiatric illness, and conservative views on abortion increase the likelihood of experiencing negative feelings after an abortion.[57] The American Psychological Association (APA) concluded that first trimester abortion does not lead to increased mental health problems,[58] and further research has concluded that later abortions are no different.[59]
Some proposed negative psychological effects of abortion have been referred to by pro-life advocates as a separate condition called "post-abortion syndrome". However, the existence of "post-abortion syndrome" is not recognized by any medical or psychological organization.[60][61][62]
Incidence
There are two commonly used methods of measuring the incidence of abortion:
• Abortion rate - number of abortions per 1000 women between 15 and 44 years of age
• Abortion ratio - number of abortions out of 100 known pregnancies (excluding miscarriages and stillbirths)
The number of abortions performed worldwide has decreased between 1995 and 2003 from 45.6 million to 41.6 million, which means a decrease in abortion rate from 35 to 29 per 1000 women. The greatest decrease has occurred in the developed world with a drop from 39 to 26 per 1000 women in comparison to the developing world, which had a decrease from 34 to 29 per 1000 women. Out of a total of about 42 million abortions 22 million occurred safely and 20 million unsafely.[2]
On average, the frequency of abortions is similar in developing countries (where abortion is generally restricted) to the frequency in developed countries (where abortion is generally much less restricted).[3][63] Abortion rates are very difficult to measure in locations where those abortions are illegal,[64] and pro-life groups have criticized researchers for allegedly jumping to conclusions about those numbers.[65] According to the Guttmacher Institute and the United Nations Population Fund, the abortion rate in developing countries is largely attributable to lack of access to modern contraceptives; assuming no change in abortion laws, providing that access to contraceptives would result in about 25 million fewer abortions annually, including almost 15 million fewer unsafe abortions.[66]
The incidence of induced abortion varies regionally. Some countries, such as Belgium (11.2 out of 100 known pregnancies) and the Netherlands (10.6 per 100), had a comparatively low ratio of induced abortion. Others like Russia (62.6 out of 100), Romania (63 out of 100)[67] and Vietnam (43.7 out of 100) had a high ratio (data for last three countries of unknown completeness). The estimated world ratio was 26%, the world rate - 35 per 1000 women.[68]
By personal and social factors
A bar chart depicting selected data from the 1998 AGI meta-study on the reasons women stated for having an abortion.
A 1998 study from 27 countries on the reasons women seek to terminate their pregnancies concluded that the most common reason women cited for having an abortion was to postpone childbearing to a more suitable time or to focus energies and resources on existing children. The most commonly reported reasons were socioeconomic factors such as being unable to afford a child either in terms of the direct costs of raising a child or the loss of income while she is caring for the child, lack of support from the father, inability to afford additional children, desire to provide schooling for existing children, disruption of education, relationship problems with a husband or partner, the perception that she is too young, and unemployment. [74] A 2004 study in which American women at clinics answered a questionnaire yielded similar results.[75] In Finland and the United States, concern for the health risks posed by pregnancy in individual cases was not a factor commonly given; however, in Bangladesh, India, and Kenya health concerns were cited by women more frequently as reasons for having an abortion.[74] In the 2004 survey-based U.S. study, 1% of women having abortions became pregnant as a result of rape and 0.5% as a result of incest.[75] Another American study in 2002 concluded that 54% of women who had an abortion were using a form of contraception at the time of becoming pregnant while 46% were not. Inconsistent use was reported by 49% of those using condoms and 76% of those using the combined oral contraceptive pill; 42% of those using condoms reported failure through slipping or breakage.[76] The Guttmacher Institute estimated that "most abortions in the United States are obtained by minority women" because minority women "have much higher rates of unintended pregnancy."[77]
Some abortions are undergone as the result of societal pressures. These might include the stigmatization of disabled people, preference for children of a specific sex, disapproval of single motherhood, insufficient economic support for families, lack of access to or rejection of contraceptive methods, or efforts toward population control (such as China's one-child policy). These factors can sometimes result in compulsory abortion or sex-selective abortion.
Anti-abortion violence
Doctors and facilities that provide abortion have been subjected to various forms of violence, including murder, attempted murder, kidnapping, stalking, assault, arson, and bombing. Anti-abortion violence has been classified by governmental and scholarly sources as terrorism.[131][132] Only a small fraction of those opposed to abortion commit violence, often rationalizing their actions as justifiable homicide or defense of others, committed in order to protect the lives of fetuses.
In the United States, four abortion providers—Drs. David Gunn, John Britton, Barnett Slepian, and George Tiller—have been assassinated. Attempted assassinations have also taken place in the United States and Canada, and other personnel at abortion clinics, including receptionists and security guards, have been killed in the United States and Australia. Hundreds of bombings, arsons, acid attacks, invasions, and incidents of vandalism against abortion providers have also occurred.[133][134] Notable perpetrators of anti-abortion violence include Eric Robert Rudolph, Scott Roeder, Shelley Shannon, and Paul Jennings Hill, the first person to be executed in the United States for murdering an abortion provider.
III
CLOSING
A. Conclusion
Abortion is medically defined as the termination of a pregnancy by the removal or expulsion of a fetus or embryo from the uterus before it is viable. An abortion can occur spontaneously due to complications during pregnancy, or can be induced, in humans and in other species. In the context of human pregnancies, an induced abortion may be referred to as either therapeutic or elective. The term abortion most commonly refers to the induced abortion of a human pregnancy; spontaneous abortions are usually termed miscarriages.
Induced
Approximately 205 million pregnancies occur each year worldwide. Over a third are unintended and about a fifth end in induced abortion. A pregnancy can be intentionally aborted in several ways. The manner selected often depends upon the gestational age of the embryo or fetus, which increases in size as the pregnancy progresses. Specific procedures may also be selected due to legality, regional availability, and doctor-patient preference.
Reasons for procuring induced abortions are typically characterized as either therapeutic or elective. An abortion is medically referred to as a therapeutic abortion when it is performed to save the life of the pregnant woman; prevent harm to the woman's physical or mental health; terminate a pregnancy where indications are that the child will have a significantly increased chance of premature morbidity or mortality or be otherwise disabled; or to selectively reduce the number of fetuses to lessen health risks associated with multiple pregnancy.` An abortion is referred to as an elective or voluntary abortion when it is performed at the request of the woman for non-medical reasons.
B. Idea
Writer suggest specially to reader so that can multiply reference of writer which have handing out.Because this handing out still a lot of ots insufiency,there fore writer expect reader can deepan content of solution of writer which have embrace in the form of this handing out.
REFERENCES
1. "[T]he termination of a pregnancy after, accompanied by, resulting in, or closely followed by the death of the embryo or fetus". "Medical Dictionary". Merriam-Webster's Medical Dictionary. Merriam-Webster. Archived from the original on June 15, 2011.
2. "Induced termination of pregnancy, involving destruction of the embryo or fetus." "abortion." The American Heritage Science Dictionary. Boston: Houghton Mifflin, 2005.
3. "Interruption of pregnancy before the fetus has attained a stage of viability, usually before the 24th gestational week." "abortion." Cambridge Dictionary of Human Biology and Evolution. Cambridge: Cambridge University Press, 2005.
4. "[A] spontaneous or deliberate ending of pregnancy before the fetus can be expected to survive." "abortion." Mosby's Emergency Dictionary. Philadelphia: Elsevier Health Sciences, 1998.
5. "[A] situation where a fetus leaves the uterus before it is fully developed, especially during the first 28 weeks of pregnancy, or a procedure which causes this to happen...[T]o have an abortion to have an operation to make a fetus leave the uterus during the first period of pregnancy." "abortion." Dictionary of Medical Terms. London: A&C Black, 2008.
PRE-FACE
"French Periodical Pills." An example of a clandestine advertisement published in an 1845 edition of the Boston Daily Times.\
Induced abortion can be traced to ancient times.[85] There is evidence to suggest that, historically, pregnancies were terminated through a number of methods, including the administration of abortifacient herbs, the use of sharpened implements, the application of abdominal pressure, and other techniques.
In ancient Greece abortion was not illegal. The medical texts of Hippocratic Corpus (c. 400 BCE) contain descriptions of abortive techniques and notes on the risks they posed to a woman's health.[86] Aristotle, in his treatise on government Politics (350 BCE), condemns infanticide as a means of population control. He preferred abortion in such cases, with the restriction[87] "[that it] must be practised on it before it has developed sensation and life; for the line between lawful and unlawful abortion will be marked by the fact of having sensation and being alive."[88] Soranus, a 2nd-century Greek physician, suggested in his work Gynaikeia (Gynaecology) that women wishing to abort their pregnancies should engage in energetic exercise, energetic jumping, carrying heavy objects, and riding animals. He also prescribed a number of recipes for herbal baths, pessaries, and bloodletting, but advised against the use of sharp instruments to induce miscarriage due to the risk of organ perforation. It is also believed that, in addition to using it as a contraceptive, the ancient Greeks relied upon silphium as an abortifacient. Such folk remedies, however, varied in effectiveness and were not without risk. Tansy and pennyroyal, for example, are two poisonous herbs with serious side effects that have at times been used to terminate pregnancy.
A medieval female physician, Trotula of Salerno,[90] administered a number of remedies for the “retention of menstrua,” which was sometimes a code for early abortifacients.[91] Pope Sixtus V (1585–90) is noted as the first Pope to declare that abortion is homicide regardless of the stage of pregnancy.[92] Abortion in the 19th century continued, despite bans in both the United Kingdom and the United States, as the disguised, but nonetheless open, advertisement of services in the Victorian era suggests.
In the 20th century the Soviet Union (1919), Iceland (1935) and Sweden (1938) were among the first countries to legalize certain or all forms of abortion. In 1935 Nazi Germany, a law was passed permitting abortions for those deemed "hereditarily ill," while women considered of German stock were specifically prohibited from having abortions.
However, the procedure remained relatively rare until the late 1960s. In late 1960s and early 1970s, due to a confluence of factors, the number of abortions increased worldwide. In West Germany, the number of reported abortions increased from 2,800 in 1968 to 87,702 in 1980.[99] In the United States, some sources show an even greater increase, from 4,600 in 1968 to 1.5 million in 1980. However, the fact that abortion remained illegal in many states prior to the landmark 1973 decision of Roe v. Wade may have affected the number of reported abortions prior to 1973.
CONTENT LIST
COVER
PRE-FACE
CONTENT LIST
I PREVIOUS
II SUBTANT
ABOTION
III CLOSING
A. CONCLUSION
B. IDEA
REFRENCES
II
DISCUSSE
Abortion is medically defined as the termination of a pregnancy by the removal or expulsion of a fetus or embryo from the uterus before it is viable. An abortion can occur spontaneously due to complications during pregnancy, or can be induced, in humans and in other species. In the context of human pregnancies, an induced abortion may be referred to as either therapeutic or elective. The term abortion most commonly refers to the induced abortion of a human pregnancy; spontaneous abortions are usually termed miscarriages.
Abortion, when performed in the developed world in jurisdictions where the procedure is legal, is among the safest procedures in medicine. However, unsafe abortions (those performed by persons without proper training or outside of a medical environment) result in approximately 70 thousand maternal deaths and 5 million disabilities per year globally. An estimated 42 million abortions are performed globally each year, with 20 million of those performed unsafely. Forty percent of the world's women are able to access therapeutic and elective abortions within gestational limits.
Induced abortion has a long history and has been facilitated by various methods including herbal abortifacients, the use of sharpened tools, physical trauma, and other traditional methods. Contemporary medicine utilizes medications and surgical procedures to induce abortion. The legality, prevalence, cultural status, and religious status of abortion vary substantially around the world. In many parts of the world there is prominent and divisive public controversy over the ethical and legal issues of abortion. Abortion and abortion-related issues feature prominently in the national politics in many nations, often involving the opposing pro-life and pro-choice worldwide social movements (both self-named). Incidence of abortion has declined worldwide as access to family planning education and contraceptive services has increased.[4]
Induced
Approximately 205 million pregnancies occur each year worldwide. Over a third are unintended and about a fifth end in induced abortion. A pregnancy can be intentionally aborted in several ways. The manner selected often depends upon the gestational age of the embryo or fetus, which increases in size as the pregnancy progresses. Specific procedures may also be selected due to legality, regional availability, and doctor-patient preference.
Reasons for procuring induced abortions are typically characterized as either therapeutic or elective. An abortion is medically referred to as a therapeutic abortion when it is performed to save the life of the pregnant woman; prevent harm to the woman's physical or mental health; terminate a pregnancy where indications are that the child will have a significantly increased chance of premature morbidity or mortality or be otherwise disabled; or to selectively reduce the number of fetuses to lessen health risks associated with multiple pregnancy.` An abortion is referred to as an elective or voluntary abortion when it is performed at the request of the woman for non-medical reasons.[9]
Spontaneous
Spontaneous abortion, also known as miscarriage, is the unintentional expulsion of an embryo or fetus before the 20th to 22nd week of gestation A pregnancy that ends before 37 weeks of gestation resulting in a live-born infant is known as a "premature birth" or a "preterm birth". When a fetus dies in utero after viability, or during delivery, it is usually termed "stillborn".[11] Premature births and stillbirths are generally not considered to be miscarriages although usage of these terms can sometimes overlap.
Only 30 to 50% of conceptions progress past the first trimester. The vast majority of those that do not progress are lost before the woman is aware of the conception,]and many pregnancies are lost before medical practitioners have the ability to detect the presence of an embryo.Between 15% and 30% of known pregnancies end in clinically apparent miscarriage, depending upon the age and health of the pregnant woman.
The most common cause of spontaneous abortion during the first trimester is chromosomal abnormalities of the embryo/fetus,[9][15] accounting for at least 50% of sampled early pregnancy losses.[16] Other causes include vascular disease (such as lupus), diabetes, other hormonal problems, infection, and abnormalities of the uterus.[15] Advancing maternal age and a patient history of previous spontaneous abortions are the two leading factors associated with a greater risk of spontaneous abortion.[16] A spontaneous abortion can also be caused by accidental trauma; intentional trauma or stress to cause miscarriage is considered induced abortion or feticide.[17]
Induction methods
Gestational age may determine which abortion methods are practiced.
Medical
"Medical abortions" are non-surgical abortions that use pharmaceutical drugs, categorically called abortifacients. In 2005, medical abortions constituted 13% of all abortions in the United States;[18] in 2010 the figure increased to 17%.Combined regimens include methotrexate or mifepristone, followed by a prostaglandin (either misoprostol or gemeprost: misoprostol is used in the U.S.; gemeprost is used in the UK and Sweden.) When used within 49 days gestation, approximately 92% of women undergoing medical abortion with a combined regimen completed it without surgical intervention.[20] Misoprostol can be used alone, but has a lower efficacy rate than combined regimens. In cases of failure of medical abortion, surgical abortion must be use to complete the procedure.
Surgical
A vacuum aspiration abortion at eight weeks gestational age (six weeks after fertilization).
1: Amniotic sac
2: Embryo
3: Uterine lining
4: Speculum
5: Vacurette
6: Attached to a suction pump
In the first 12 weeks, suction-aspiration or vacuum abortion is the most common method.[22] Manual vacuum aspiration (MVA) abortion consists of removing the fetus or embryo, placenta and membranes by suction using a manual syringe, while electric vacuum aspiration (EVA) abortion uses an electric pump. These techniques are comparable, and differ in the mechanism used to apply suction, how early in pregnancy they can be used, and whether cervical dilation is necessary. MVA, also known as "mini-suction" and "menstrual extraction", can be used in very early pregnancy, and does not require cervical dilation. Surgical techniques are sometimes referred to as 'Suction (or surgical) Termination Of Pregnancy' (STOP). From the 15th week until approximately the 26th, dilation and evacuation (D&E) is used. D&E consists of opening the cervix of the uterus and emptying it using surgical instruments and suction.
Dilation and curettage (D&C), the second most common method of surgical abortion, is a standard gynecological procedure performed for a variety of reasons, including examination of the uterine lining for possible malignancy, investigation of abnormal bleeding, and abortion. Curettage refers to cleaning the walls of the uterus with a curette. The World Health Organization recommends this procedure, also called sharp curettage, only when MVA is unavailable.
Other techniques must be used to induce abortion in the second trimester. Premature delivery can be induced with prostaglandin; this can be coupled with injecting the amniotic fluid with hypertonic solutions containing saline or urea. After the 16th week of gestation, abortions can be induced by intact dilation and extraction (IDX) (also called intrauterine cranial decompression), which requires surgical decompression of the fetus's head before evacuation. IDX is sometimes called "partial-birth abortion," which has been federally banned in the United States. A hysterotomy abortion is a procedure similar to a caesarean section and is performed under general anesthesia. It requires a smaller incision than a caesarean section and is used during later stages of pregnancy.[24]
The Royal College of Obstetricians and Gynaecologists has recommended that an injection be used to stop the fetal heart during the first phase of the surgical abortion procedure to ensure that the fetus is not born alive.
Other methods
Bas-relief at Angkor Wat, Cambodia, c. 1150, depicting a demon inducing an abortion by pounding the abdomen of a pregnant woman with a pestle.
Historically, a number of herbs reputed to possess abortifacient properties have been used in folk medicine: tansy, pennyroyal, black cohosh, and the now-extinct silphium (see history of abortion).[27] The use of herbs in such a manner can cause serious—even lethal—side effects, such as multiple organ failure, and is not recommended by physicians.
Abortion is sometimes attempted by causing trauma to the abdomen. The degree of force, if severe, can cause serious internal injuries without necessarily succeeding in inducing miscarriage.[29] Both accidental and deliberate abortions of this kind can be subject to criminal liability in many countries.[citation needed] In Southeast Asia, there is an ancient tradition of attempting abortion through forceful abdominal massage.[30] One of the bas reliefs decorating the temple of Angkor Wat in Cambodia depicts a demon performing such an abortion upon a woman who has been sent to the underworld.
Reported methods of unsafe, self-induced abortion include misuse of misoprostol, and insertion of non-surgical implements such as knitting needles and clothes hangers into the uterus. These methods are rarely seen in developed countries where surgical abortion is legal and available.
Complications
The health risks of abortion depend on whether the procedure is performed safely or unsafely. The World Health Organization defines unsafe abortions as those performed by unskilled individuals, with hazardous equipment, or in unsanitary facilities.[32]
Safe abortion
Abortion, when performed in the developed world in countries where abortion is legal, is among the safest procedures in medicine.[1][33] In the US, the risk of maternal death from abortion is 0.567 per 100,000 procedures, making abortion approximately 14 times safer than childbirth (7.06 maternal deaths per 100,000 live births).[34] The risk of abortion-related mortality increases with increasing gestational age, but remains lower than that of childbirth through at least 21 weeks' gestation.
Vacuum aspiration in the first trimester is the safest method of surgical abortion, and can be performed in a primary care office, abortion clinic, or hospital. Complications are rare and can include uterine perforation, pelvic infection, and retained products of conception requiring a second procedure to evacuate.[37] Preventive antibiotics (such as doxycycline or metronidazole) are typically given before elective abortion,[38] as they are believed to substantially reduce the risk of postoperative uterine infection.[39] Complications after second-trimester abortion are similar to those after first-trimester abortion, and depend somewhat on the method chosen. A 2008 Cochrane Library review found that dilation and evacuation was safer than other means of second-trimester abortion.
Medical abortion with mifepristone and misoprostol is effective through 49 days of gestational age.[41] It has been used in women up to 63 days of gestational age, albeit with an increased risk of failure (requiring surgical abortion).[42] Medical abortion is generally considered as safe as surgical abortion in the first trimester, but is associated with more pain and a lower success rate (requiring surgical abortion).[43] Overall, the risk of uterine infection is lower with medical than with surgical abortion,[41] although in 2005 four deaths after medical abortion were reported due to infection with Clostridium sordellii.[44] As a result, some abortion providers have begun using preventive antibiotics with medical abortion.
Unsafe abortion
In contrast, unsafe abortion is a major cause of injury and death among women worldwide. Although data are imprecise, it is estimated that approximately 20 million unsafe abortions are performed annually, with 97% taking place in developing countries.[1] Unsafe abortion is believed to result in approximately 68,000 deaths and millions of injuries annually.[1] The legal status of abortion is believed to play a major role in the frequency of unsafe abortion.[46][47] For example, the 1996 legalization of abortion in South Africa had an immediate positive impact on the frequency of abortion-related complications,[48] with abortion-related deaths dropping by more than 90%.[49] Groups such as the World Health Organization have advocated a public-health approach to addressing unsafe abortion, emphasizing the legalization of abortion, the training of medical personnel, and ensuring access to reproductive-health services.[47]
Breast cancer
Although some studies have postulated an association between abortion and breast cancer, the best available evidence at present does not support such a link. Major medical bodies, including the World Health Organization,[50] the U.S. National Cancer Institute,[51] the American Cancer Society,[52] and the Royal College of Obstetricians and Gynaecologists,[53] have concluded on the basis of existing evidence that abortion does not cause breast cancer.[54][55] Currently, the concept of a link between induced abortion and breast cancer is promoted primarily by pro-life groups.[54]
Mental health
No scientific research has demonstrated that abortion is a cause of poor mental health in the general population. However there are groups of women who may be at higher risk of coping with problems and distress following abortion.[56] Some factors in a woman's life, such as emotional attachment to the pregnancy, lack of social support, pre-existing psychiatric illness, and conservative views on abortion increase the likelihood of experiencing negative feelings after an abortion.[57] The American Psychological Association (APA) concluded that first trimester abortion does not lead to increased mental health problems,[58] and further research has concluded that later abortions are no different.[59]
Some proposed negative psychological effects of abortion have been referred to by pro-life advocates as a separate condition called "post-abortion syndrome". However, the existence of "post-abortion syndrome" is not recognized by any medical or psychological organization.[60][61][62]
Incidence
There are two commonly used methods of measuring the incidence of abortion:
• Abortion rate - number of abortions per 1000 women between 15 and 44 years of age
• Abortion ratio - number of abortions out of 100 known pregnancies (excluding miscarriages and stillbirths)
The number of abortions performed worldwide has decreased between 1995 and 2003 from 45.6 million to 41.6 million, which means a decrease in abortion rate from 35 to 29 per 1000 women. The greatest decrease has occurred in the developed world with a drop from 39 to 26 per 1000 women in comparison to the developing world, which had a decrease from 34 to 29 per 1000 women. Out of a total of about 42 million abortions 22 million occurred safely and 20 million unsafely.[2]
On average, the frequency of abortions is similar in developing countries (where abortion is generally restricted) to the frequency in developed countries (where abortion is generally much less restricted).[3][63] Abortion rates are very difficult to measure in locations where those abortions are illegal,[64] and pro-life groups have criticized researchers for allegedly jumping to conclusions about those numbers.[65] According to the Guttmacher Institute and the United Nations Population Fund, the abortion rate in developing countries is largely attributable to lack of access to modern contraceptives; assuming no change in abortion laws, providing that access to contraceptives would result in about 25 million fewer abortions annually, including almost 15 million fewer unsafe abortions.[66]
The incidence of induced abortion varies regionally. Some countries, such as Belgium (11.2 out of 100 known pregnancies) and the Netherlands (10.6 per 100), had a comparatively low ratio of induced abortion. Others like Russia (62.6 out of 100), Romania (63 out of 100)[67] and Vietnam (43.7 out of 100) had a high ratio (data for last three countries of unknown completeness). The estimated world ratio was 26%, the world rate - 35 per 1000 women.[68]
By personal and social factors
A bar chart depicting selected data from the 1998 AGI meta-study on the reasons women stated for having an abortion.
A 1998 study from 27 countries on the reasons women seek to terminate their pregnancies concluded that the most common reason women cited for having an abortion was to postpone childbearing to a more suitable time or to focus energies and resources on existing children. The most commonly reported reasons were socioeconomic factors such as being unable to afford a child either in terms of the direct costs of raising a child or the loss of income while she is caring for the child, lack of support from the father, inability to afford additional children, desire to provide schooling for existing children, disruption of education, relationship problems with a husband or partner, the perception that she is too young, and unemployment. [74] A 2004 study in which American women at clinics answered a questionnaire yielded similar results.[75] In Finland and the United States, concern for the health risks posed by pregnancy in individual cases was not a factor commonly given; however, in Bangladesh, India, and Kenya health concerns were cited by women more frequently as reasons for having an abortion.[74] In the 2004 survey-based U.S. study, 1% of women having abortions became pregnant as a result of rape and 0.5% as a result of incest.[75] Another American study in 2002 concluded that 54% of women who had an abortion were using a form of contraception at the time of becoming pregnant while 46% were not. Inconsistent use was reported by 49% of those using condoms and 76% of those using the combined oral contraceptive pill; 42% of those using condoms reported failure through slipping or breakage.[76] The Guttmacher Institute estimated that "most abortions in the United States are obtained by minority women" because minority women "have much higher rates of unintended pregnancy."[77]
Some abortions are undergone as the result of societal pressures. These might include the stigmatization of disabled people, preference for children of a specific sex, disapproval of single motherhood, insufficient economic support for families, lack of access to or rejection of contraceptive methods, or efforts toward population control (such as China's one-child policy). These factors can sometimes result in compulsory abortion or sex-selective abortion.
Anti-abortion violence
Doctors and facilities that provide abortion have been subjected to various forms of violence, including murder, attempted murder, kidnapping, stalking, assault, arson, and bombing. Anti-abortion violence has been classified by governmental and scholarly sources as terrorism.[131][132] Only a small fraction of those opposed to abortion commit violence, often rationalizing their actions as justifiable homicide or defense of others, committed in order to protect the lives of fetuses.
In the United States, four abortion providers—Drs. David Gunn, John Britton, Barnett Slepian, and George Tiller—have been assassinated. Attempted assassinations have also taken place in the United States and Canada, and other personnel at abortion clinics, including receptionists and security guards, have been killed in the United States and Australia. Hundreds of bombings, arsons, acid attacks, invasions, and incidents of vandalism against abortion providers have also occurred.[133][134] Notable perpetrators of anti-abortion violence include Eric Robert Rudolph, Scott Roeder, Shelley Shannon, and Paul Jennings Hill, the first person to be executed in the United States for murdering an abortion provider.
III
CLOSING
A. Conclusion
Abortion is medically defined as the termination of a pregnancy by the removal or expulsion of a fetus or embryo from the uterus before it is viable. An abortion can occur spontaneously due to complications during pregnancy, or can be induced, in humans and in other species. In the context of human pregnancies, an induced abortion may be referred to as either therapeutic or elective. The term abortion most commonly refers to the induced abortion of a human pregnancy; spontaneous abortions are usually termed miscarriages.
Induced
Approximately 205 million pregnancies occur each year worldwide. Over a third are unintended and about a fifth end in induced abortion. A pregnancy can be intentionally aborted in several ways. The manner selected often depends upon the gestational age of the embryo or fetus, which increases in size as the pregnancy progresses. Specific procedures may also be selected due to legality, regional availability, and doctor-patient preference.
Reasons for procuring induced abortions are typically characterized as either therapeutic or elective. An abortion is medically referred to as a therapeutic abortion when it is performed to save the life of the pregnant woman; prevent harm to the woman's physical or mental health; terminate a pregnancy where indications are that the child will have a significantly increased chance of premature morbidity or mortality or be otherwise disabled; or to selectively reduce the number of fetuses to lessen health risks associated with multiple pregnancy.` An abortion is referred to as an elective or voluntary abortion when it is performed at the request of the woman for non-medical reasons.
B. Idea
Writer suggest specially to reader so that can multiply reference of writer which have handing out.Because this handing out still a lot of ots insufiency,there fore writer expect reader can deepan content of solution of writer which have embrace in the form of this handing out.
REFERENCES
1. "[T]he termination of a pregnancy after, accompanied by, resulting in, or closely followed by the death of the embryo or fetus". "Medical Dictionary". Merriam-Webster's Medical Dictionary. Merriam-Webster. Archived from the original on June 15, 2011.
2. "Induced termination of pregnancy, involving destruction of the embryo or fetus." "abortion." The American Heritage Science Dictionary. Boston: Houghton Mifflin, 2005.
3. "Interruption of pregnancy before the fetus has attained a stage of viability, usually before the 24th gestational week." "abortion." Cambridge Dictionary of Human Biology and Evolution. Cambridge: Cambridge University Press, 2005.
4. "[A] spontaneous or deliberate ending of pregnancy before the fetus can be expected to survive." "abortion." Mosby's Emergency Dictionary. Philadelphia: Elsevier Health Sciences, 1998.
5. "[A] situation where a fetus leaves the uterus before it is fully developed, especially during the first 28 weeks of pregnancy, or a procedure which causes this to happen...[T]o have an abortion to have an operation to make a fetus leave the uterus during the first period of pregnancy." "abortion." Dictionary of Medical Terms. London: A&C Black, 2008.
Kamis, 07 Juli 2011
Sistem saraf pada hewan mengkoordinasikan aktivitas otot, memonitor organ, membentuk dan juga menghentikan masukan dari indra, dan mengaktifkan aksi. Komponen utama dalam sistem saraf adalah neuron dan saraf, yang memainkan peranan penting dalam koordinasi. Pada makhluk yang tidak memiliki otak, sistem saraf tidak menghasilkan atau menjalankan pikiran, gerakan dan emosi (lumpuh).
Sistem saraf pada manusia dibagi menjadi tiga, yaitu saraf otak, saraf sumsum tulang belakang, dan saraf tepi. Saraf otak dan saraf sumsum tulang belakang adalah saraf pusat. Pada saraf tepi, saraf menghubungkan antara saraf pusat dengan indera dan otot. Saraf otak ibarat chip dalam komputer. Sistem saraf sendiri merupakan cabang dari sistem koordinasi selain sistem hormon dan sistem otot.
Sistem saraf pada manusia dibagi menjadi dua, yaitu:
• Saraf sadar
o Saraf pusat
Otak
1. Otak besar (cerebrum)
2. Otak kecil (cerebellum)
3. Otak tengah (mesencephalon)
4. Sumsum lanjutan (medulla oblongata)
•
o
Sumsum tulang belakang
o Saraf tepi
• Saraf tak sadar(saraf autonom)
o Saraf simpatetik
o Saraf parasimpatetik
Sel saraf(neuron) terdiri dari akson,dendrit,dan badan sel.Dendrit berfungsi untuk meneruskan rangsangan yang diterimanya ke badan sel.Akson dilapisi oleh selubung mielin pada bagian luarnya.Di antara badan sel dan akson terdapat sebuah jembatan yang dinamakan jembatan varol
Saraf berdasarkan struktur penyusunnya terdiri atas: 1.Saraf Unipolar 2.Saraf Bipolar 3.Saraf multipolar
Berdasarkan fungsinya dibagi lagi menjadi: 1.Saraf sensorik(neuron aferen) 2.Saraf motorik(neuron eferen) 3.Saraf asosiasi(saraf penghubung neuron aferen dan neuron eferen)
Sistem saraf pada manusia dibagi menjadi tiga, yaitu saraf otak, saraf sumsum tulang belakang, dan saraf tepi. Saraf otak dan saraf sumsum tulang belakang adalah saraf pusat. Pada saraf tepi, saraf menghubungkan antara saraf pusat dengan indera dan otot. Saraf otak ibarat chip dalam komputer. Sistem saraf sendiri merupakan cabang dari sistem koordinasi selain sistem hormon dan sistem otot.
Sistem saraf pada manusia dibagi menjadi dua, yaitu:
• Saraf sadar
o Saraf pusat
Otak
1. Otak besar (cerebrum)
2. Otak kecil (cerebellum)
3. Otak tengah (mesencephalon)
4. Sumsum lanjutan (medulla oblongata)
•
o
Sumsum tulang belakang
o Saraf tepi
• Saraf tak sadar(saraf autonom)
o Saraf simpatetik
o Saraf parasimpatetik
Sel saraf(neuron) terdiri dari akson,dendrit,dan badan sel.Dendrit berfungsi untuk meneruskan rangsangan yang diterimanya ke badan sel.Akson dilapisi oleh selubung mielin pada bagian luarnya.Di antara badan sel dan akson terdapat sebuah jembatan yang dinamakan jembatan varol
Saraf berdasarkan struktur penyusunnya terdiri atas: 1.Saraf Unipolar 2.Saraf Bipolar 3.Saraf multipolar
Berdasarkan fungsinya dibagi lagi menjadi: 1.Saraf sensorik(neuron aferen) 2.Saraf motorik(neuron eferen) 3.Saraf asosiasi(saraf penghubung neuron aferen dan neuron eferen)
HIPOSPADIA
PENGERTIAN
Hipospadia sendiri berasal dari dua kata yaitu “hypo” yang berarti “di bawah” dan “spadon“ yang berarti keratan yang panjang.
Hipospadia adalah suatu keadaan dimana lubang uretra terdapat di penis bagian bawah, bukan di ujung penis. Hipospadia merupakan kelainan kelamin bawaan sejak lahir.
Hipospadia merupakan kelainan bawaan yang terjadi pada 3 diantara 1.000 bayi baru lahir. Beratnya hipospadia bervariasi, kebanyakan lubang uretra terletak di dekat ujung penis, yaitu pada glans penis.
Bentuk hipospadia yang lebih berat terjadi jika lubang uretra terdapat di tengah batang penis atau pada pangkal penis, dan kadang pada skrotum (kantung zakar) atau di bawah skrotum. Kelainan ini seringkali berhubungan dengan kordi, yaitu suatu jaringan fibrosa yang kencang, yang menyebabkan penis melengkung ke bawah pada saat ereksi.
SEJARAH
Pada abad pertama, ahli bedah dari Yunani Heliodorus dan Antilius, pertama-tama yang melakukan penanggulangan untuk hipospadia. Dilakukan amputasi dari bagian penis distal dari meatus. Selanjutnya cara ini diikuti oleh Galen dan Paulus dari Agentia pada tahun 200 dan tahun 400.12 Duplay memulai era modern pada bidang ini pada tahun 1874 dengan memperkenalkan secara detail rekonstruksi uretra. Sekarang, lebih dari 200 teknik telah dibuat dan sebagian besar merupakan multi-stage reconstruction; yang terdiri dari first emergency stage untuk mengoreksi stenotic meatus jika diperlukan dan second stage untuk menghilangkan chordee dan recurvatum, kemudian pada third stage yaitu urehtroplasty.1,8,11 Beberapa masalah yang berhubungan dengan teknik multi-stage yaitu; membutuhkan operasi yang multiple; sering terjadi meatus tidak mencapai ujung glands penis; sering terjadi striktur atau fistel uretra; dan dari segi estetika dianggap kurang baik.8 Pada tahun 1960, Hinderer memperkenalkan teknik one-stage repair untuk mengurangi komplikasi dari teknik multi-stage repair. Cara ini dianggap sebagai rekonstruksi uretra yang ideal dari segi anatomi dan fungsionalnya, dari segi estetik dianggap lebih baik, komplikasi minimal, dan mengurangi social cost.8
ETIOLOGI
Penyebabnya sebenarnya sangat multifaktor dan sampai sekarang belum diketahui penyebab pasti dari hipospadia. Namun, ada beberapa factor yang oleh para ahli dianggap paling berpengaruh antara lain :
1. Gangguan dan ketidakseimbangan hormone
Hormone yang dimaksud di sini adalah hormone androgen yang mengatur organogenesis kelamin (pria). Atau biasa juga karena reseptor hormone androgennya sendiri di dalam tubuh yang kurang atau tidak ada. Sehingga walaupun hormone androgen sendiri telah terbentuk cukup akan tetapi apabila reseptornya tidak ada tetap saja tidak akan memberikan suatu efek yang semestinya. Atau enzim yang berperan dalam sintesis hormone androgen tidak mencukupi pun akan berdampak sama.
2. Genetika
Terjadi karena gagalnya sintesis androgen. Hal ini biasanya terjadi karena mutasi pada gen yang mengode sintesis androgen tersebut sehingga ekspresi dari gen tersebut tidak terjadi.
3. Lingkungan
Biasanya faktor lingkungan yang menjadi penyebab adalah polutan dan zat yang bersifat teratogenik yang dapat mengakibatkan mutasi
PATOFISIOLOGI
• Hipospadia terjadi karena tidak lengkapnya perkembngan uretra dalam utero.
• Hipospadia dimana lubang uretra terletak pada perbatasan penis dan skrotum.
• Hipospadia adalah lubang uretra bermuara pada lubang frenum, sedang lubang frenumnya tidak terbentuk, tempat normalnya meatus urinarius ditandai pada glans penis sebagai celah buntu.
GEJALA HIPOSPADIA
1. Lubang penis tidak terdapat di ujung penis, tetapi berada di bawah penis
2. Penis melengkung ke bawah
3. Penis tampak seperti berkerudung karena kelainan pada kulit depan penis
4. Jika berkemih, anak harus duduk.
DIAGNOSIS
Diagnosis hipospadia biasanya jelas pada pemeriksaan inspeksi. Kadang-kadang hipospadia dapat didiagnosis pada pemeriksaan ultrasound prenatal. Jika tidak teridentifikasi sebelum kelahiran, maka biasanya dapat teridentifikasi pada pemeriksaan setelah bayi lahir.3 Pada orang dewasa yang menderita hipospadia dapat mengeluhkan kesulitan untuk mengarahkan pancaran urine. Chordee dapat menyebabkan batang penis melengkung ke ventral yang dapat mengganggu hubungan seksual. Hipospadia tipe perineal dan penoscrotal menyebabkan penderita harus miksi dalam posisi duduk, dan hipospadia jenis ini dapat menyebabkan infertilitas. Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu urethtroscopy dan cystoscopy untuk memastikan organ-organ seks internal terbentuk secara normal. Excretory urography dilakukan untuk mendeteksi ada tidaknya abnormalitas kongenital pada ginjal dan ureter.
Diagnosis bias juga ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik. Jika hipospadia terdapat di pangkal penis, mungkin perlu dilakukan pemeriksaan radiologis untuk memeriksa kelainan bawaan lainnya.Bayi yang menderita hipospadia sebaiknya tidak disunat. Kulit depan penis dibiarkan untuk digunakan pada pembedahan. Rangkaian pembedahan biasanya telah selesai dilakukan sebelum anak mulai sekolah. Pada saat ini, perbaikan hipospadia dianjurkan dilakukan sebelum anak berumur 18 bulan. Jika tidak diobati, mungkin akan terjadi kesulitan dalam pelatihan buang air pada anak dan pada saat dewasa nanti, mungkin akan terjadi gangguan dalam melakukan hubungan seksual.
KLASIFIKASI HIPOSPADIA
1. Tipe hipospadia yang lubang uretranya didepan atau di anterior
Hipospadia Glandular
HipospadiaSubcoronal
2. Tipe hipospadia yang lubang uretranya berada di tengah
Hipospadia Mediopenean
Hipospadia Peneescrotal
3. Tipe hipospadia yang lubang uretranya berada di belakang atau posterior
Hipospadia Perineal
KOMPLIKASI
• Komplikasi awal yang terjadi adalah perdarahan, infeksi, jahitan yang terlepas, nekrosis flap, dan edema.
• Komplikasi lanjut
1. Stenosis sementara karena edema atau hipertropi scar pada tempat anastomosis.
2. Kebocoran traktus urinaria karena penyembuhan yang lama.
3. Fistula uretrocutaneus
4. Striktur uretra
5. Adanya rambut dalam uretra
PENATALAKSANAAN
Untuk saat ini penanganan hipospadia adalah dengan cara operasi. Operasi ini bertujuan untuk merekonstruksi penis agar lurus dengan orifisium uretra pada tempat yang normal atau diusahakan untuk senormal mungkin. Operasi sebaiknya dilaksanakan pada saat usia anak yaitu enam bulan sampai usia prasekolah. Hal ini dimaksudkan bahwa pada usia ini anak diharapkan belum sadar bahwa ia begitu “spesial”, dan berbeda dengan teman-temannya yang lain yaitu dimana anak yang lain biasanya miksi (buang air seni) dengan berdiri sedangkan ia sendiri harus melakukannya dengan jongkok aga urin tidak “mbleber” ke mana-mana. Anak yang menderita hipospadia hendaknya jangan dulu dikhitan, hal ini berkaitan dengan tindakan operasi rekonstruksi yang akan mengambil kulit preputium penis untuk menutup lubang dari sulcus uretra yang tidak menyatu pada penderita hipospadia.
Tahapan operasi rekonstruksi antara lain :
1. Meluruskan penis yaitu orifisium dan canalis uretra senormal mungkin. Hal ini dikarenakan pada penderita hipospadia biasanya terdapat suatu chorda yang merupakan jaringan fibrosa yang mengakibatkan penis penderita bengkok.
Langkah selanjutnya adalah mobilisasi (memotong dan memindahkan) kulit preputium penis untuk menutup sulcus uretra.
2. Uretroplasty
Tahap kedua ini dilaksanakan apabila tidak terbentuk fossa naficularis pada glans penis. Uretroplasty yaitu membuat fassa naficularis baru pada glans penis yang nantinya akan dihubungkan dengan canalis uretra yang telah terbentuk sebelumnya melalui tahap pertama.
Tidak kalah pentingnya pada penanganan penderita hipospadia adalah penanganan pascabedah dimana canalis uretra belum maksimal dapat digunakan untuk lewat urin karena biasanya dokter akan memasang sonde untuk memfiksasi canalis uretra yang dibentuknya. Urin untuk sementara dikeluaskan melalui sonde yang dimasukkan pada vesica urinaria (kandung kemih) melalui lubang lain yang dibuat olleh dokter bedah sekitar daerah di bawah umbilicus (pusar) untuk mencapai kandung kemih.
CONTOH GAMBAR HIPOSPADIA
SHAPE \* MERGEFORMAT
SHAPE \* MERGEFORMAT
SHAPE \* MERGEFORMAT
SHAPE \* MERGEFORMAT
Daftar Pustaka
Sastrasupena H., Hipospadia, Dalam Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Binarupa Aksara, Jakarta, 1995: 428-435
Sjamsuhidajat R., Hopospadia, Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC, Jakarta: 1997: 1010
Purnomo B.B., Uretra dan Hipospadia, Dalam Dasar-dasar Urologi, Malang, 2000 : 6,137-138
Suriadi . Rita, Yuliani . 2001 . Asuhan Keperawatan Pada Anak . Jakarta : CV. Sagung Seto
Hassan, Rusepno.(ed).1985.Ilmu Kesehatan Anak. (Ed. Ke-1).Jakarta : Infomedika
Hassaan, Rusepno.(ed).1985.Ilmu Kesehatan Anak.(Ed.Ke-3). Jakarta : Infomedika
Wahab, Samik.(ed). 2000. Ilmu Kesehatan Anak.(Ed. Ke-15 vol 2).Jakarta : Buku Kedokteran EGC
PENGERTIAN
Hipospadia sendiri berasal dari dua kata yaitu “hypo” yang berarti “di bawah” dan “spadon“ yang berarti keratan yang panjang.
Hipospadia adalah suatu keadaan dimana lubang uretra terdapat di penis bagian bawah, bukan di ujung penis. Hipospadia merupakan kelainan kelamin bawaan sejak lahir.
Hipospadia merupakan kelainan bawaan yang terjadi pada 3 diantara 1.000 bayi baru lahir. Beratnya hipospadia bervariasi, kebanyakan lubang uretra terletak di dekat ujung penis, yaitu pada glans penis.
Bentuk hipospadia yang lebih berat terjadi jika lubang uretra terdapat di tengah batang penis atau pada pangkal penis, dan kadang pada skrotum (kantung zakar) atau di bawah skrotum. Kelainan ini seringkali berhubungan dengan kordi, yaitu suatu jaringan fibrosa yang kencang, yang menyebabkan penis melengkung ke bawah pada saat ereksi.
SEJARAH
Pada abad pertama, ahli bedah dari Yunani Heliodorus dan Antilius, pertama-tama yang melakukan penanggulangan untuk hipospadia. Dilakukan amputasi dari bagian penis distal dari meatus. Selanjutnya cara ini diikuti oleh Galen dan Paulus dari Agentia pada tahun 200 dan tahun 400.12 Duplay memulai era modern pada bidang ini pada tahun 1874 dengan memperkenalkan secara detail rekonstruksi uretra. Sekarang, lebih dari 200 teknik telah dibuat dan sebagian besar merupakan multi-stage reconstruction; yang terdiri dari first emergency stage untuk mengoreksi stenotic meatus jika diperlukan dan second stage untuk menghilangkan chordee dan recurvatum, kemudian pada third stage yaitu urehtroplasty.1,8,11 Beberapa masalah yang berhubungan dengan teknik multi-stage yaitu; membutuhkan operasi yang multiple; sering terjadi meatus tidak mencapai ujung glands penis; sering terjadi striktur atau fistel uretra; dan dari segi estetika dianggap kurang baik.8 Pada tahun 1960, Hinderer memperkenalkan teknik one-stage repair untuk mengurangi komplikasi dari teknik multi-stage repair. Cara ini dianggap sebagai rekonstruksi uretra yang ideal dari segi anatomi dan fungsionalnya, dari segi estetik dianggap lebih baik, komplikasi minimal, dan mengurangi social cost.8
ETIOLOGI
Penyebabnya sebenarnya sangat multifaktor dan sampai sekarang belum diketahui penyebab pasti dari hipospadia. Namun, ada beberapa factor yang oleh para ahli dianggap paling berpengaruh antara lain :
1. Gangguan dan ketidakseimbangan hormone
Hormone yang dimaksud di sini adalah hormone androgen yang mengatur organogenesis kelamin (pria). Atau biasa juga karena reseptor hormone androgennya sendiri di dalam tubuh yang kurang atau tidak ada. Sehingga walaupun hormone androgen sendiri telah terbentuk cukup akan tetapi apabila reseptornya tidak ada tetap saja tidak akan memberikan suatu efek yang semestinya. Atau enzim yang berperan dalam sintesis hormone androgen tidak mencukupi pun akan berdampak sama.
2. Genetika
Terjadi karena gagalnya sintesis androgen. Hal ini biasanya terjadi karena mutasi pada gen yang mengode sintesis androgen tersebut sehingga ekspresi dari gen tersebut tidak terjadi.
3. Lingkungan
Biasanya faktor lingkungan yang menjadi penyebab adalah polutan dan zat yang bersifat teratogenik yang dapat mengakibatkan mutasi
PATOFISIOLOGI
• Hipospadia terjadi karena tidak lengkapnya perkembngan uretra dalam utero.
• Hipospadia dimana lubang uretra terletak pada perbatasan penis dan skrotum.
• Hipospadia adalah lubang uretra bermuara pada lubang frenum, sedang lubang frenumnya tidak terbentuk, tempat normalnya meatus urinarius ditandai pada glans penis sebagai celah buntu.
GEJALA HIPOSPADIA
1. Lubang penis tidak terdapat di ujung penis, tetapi berada di bawah penis
2. Penis melengkung ke bawah
3. Penis tampak seperti berkerudung karena kelainan pada kulit depan penis
4. Jika berkemih, anak harus duduk.
DIAGNOSIS
Diagnosis hipospadia biasanya jelas pada pemeriksaan inspeksi. Kadang-kadang hipospadia dapat didiagnosis pada pemeriksaan ultrasound prenatal. Jika tidak teridentifikasi sebelum kelahiran, maka biasanya dapat teridentifikasi pada pemeriksaan setelah bayi lahir.3 Pada orang dewasa yang menderita hipospadia dapat mengeluhkan kesulitan untuk mengarahkan pancaran urine. Chordee dapat menyebabkan batang penis melengkung ke ventral yang dapat mengganggu hubungan seksual. Hipospadia tipe perineal dan penoscrotal menyebabkan penderita harus miksi dalam posisi duduk, dan hipospadia jenis ini dapat menyebabkan infertilitas. Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu urethtroscopy dan cystoscopy untuk memastikan organ-organ seks internal terbentuk secara normal. Excretory urography dilakukan untuk mendeteksi ada tidaknya abnormalitas kongenital pada ginjal dan ureter.
Diagnosis bias juga ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik. Jika hipospadia terdapat di pangkal penis, mungkin perlu dilakukan pemeriksaan radiologis untuk memeriksa kelainan bawaan lainnya.Bayi yang menderita hipospadia sebaiknya tidak disunat. Kulit depan penis dibiarkan untuk digunakan pada pembedahan. Rangkaian pembedahan biasanya telah selesai dilakukan sebelum anak mulai sekolah. Pada saat ini, perbaikan hipospadia dianjurkan dilakukan sebelum anak berumur 18 bulan. Jika tidak diobati, mungkin akan terjadi kesulitan dalam pelatihan buang air pada anak dan pada saat dewasa nanti, mungkin akan terjadi gangguan dalam melakukan hubungan seksual.
KLASIFIKASI HIPOSPADIA
1. Tipe hipospadia yang lubang uretranya didepan atau di anterior
Hipospadia Glandular
HipospadiaSubcoronal
2. Tipe hipospadia yang lubang uretranya berada di tengah
Hipospadia Mediopenean
Hipospadia Peneescrotal
3. Tipe hipospadia yang lubang uretranya berada di belakang atau posterior
Hipospadia Perineal
KOMPLIKASI
• Komplikasi awal yang terjadi adalah perdarahan, infeksi, jahitan yang terlepas, nekrosis flap, dan edema.
• Komplikasi lanjut
1. Stenosis sementara karena edema atau hipertropi scar pada tempat anastomosis.
2. Kebocoran traktus urinaria karena penyembuhan yang lama.
3. Fistula uretrocutaneus
4. Striktur uretra
5. Adanya rambut dalam uretra
PENATALAKSANAAN
Untuk saat ini penanganan hipospadia adalah dengan cara operasi. Operasi ini bertujuan untuk merekonstruksi penis agar lurus dengan orifisium uretra pada tempat yang normal atau diusahakan untuk senormal mungkin. Operasi sebaiknya dilaksanakan pada saat usia anak yaitu enam bulan sampai usia prasekolah. Hal ini dimaksudkan bahwa pada usia ini anak diharapkan belum sadar bahwa ia begitu “spesial”, dan berbeda dengan teman-temannya yang lain yaitu dimana anak yang lain biasanya miksi (buang air seni) dengan berdiri sedangkan ia sendiri harus melakukannya dengan jongkok aga urin tidak “mbleber” ke mana-mana. Anak yang menderita hipospadia hendaknya jangan dulu dikhitan, hal ini berkaitan dengan tindakan operasi rekonstruksi yang akan mengambil kulit preputium penis untuk menutup lubang dari sulcus uretra yang tidak menyatu pada penderita hipospadia.
Tahapan operasi rekonstruksi antara lain :
1. Meluruskan penis yaitu orifisium dan canalis uretra senormal mungkin. Hal ini dikarenakan pada penderita hipospadia biasanya terdapat suatu chorda yang merupakan jaringan fibrosa yang mengakibatkan penis penderita bengkok.
Langkah selanjutnya adalah mobilisasi (memotong dan memindahkan) kulit preputium penis untuk menutup sulcus uretra.
2. Uretroplasty
Tahap kedua ini dilaksanakan apabila tidak terbentuk fossa naficularis pada glans penis. Uretroplasty yaitu membuat fassa naficularis baru pada glans penis yang nantinya akan dihubungkan dengan canalis uretra yang telah terbentuk sebelumnya melalui tahap pertama.
Tidak kalah pentingnya pada penanganan penderita hipospadia adalah penanganan pascabedah dimana canalis uretra belum maksimal dapat digunakan untuk lewat urin karena biasanya dokter akan memasang sonde untuk memfiksasi canalis uretra yang dibentuknya. Urin untuk sementara dikeluaskan melalui sonde yang dimasukkan pada vesica urinaria (kandung kemih) melalui lubang lain yang dibuat olleh dokter bedah sekitar daerah di bawah umbilicus (pusar) untuk mencapai kandung kemih.
CONTOH GAMBAR HIPOSPADIA
SHAPE \* MERGEFORMAT
SHAPE \* MERGEFORMAT
SHAPE \* MERGEFORMAT
SHAPE \* MERGEFORMAT
Daftar Pustaka
Sastrasupena H., Hipospadia, Dalam Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Binarupa Aksara, Jakarta, 1995: 428-435
Sjamsuhidajat R., Hopospadia, Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC, Jakarta: 1997: 1010
Purnomo B.B., Uretra dan Hipospadia, Dalam Dasar-dasar Urologi, Malang, 2000 : 6,137-138
Suriadi . Rita, Yuliani . 2001 . Asuhan Keperawatan Pada Anak . Jakarta : CV. Sagung Seto
Hassan, Rusepno.(ed).1985.Ilmu Kesehatan Anak. (Ed. Ke-1).Jakarta : Infomedika
Hassaan, Rusepno.(ed).1985.Ilmu Kesehatan Anak.(Ed.Ke-3). Jakarta : Infomedika
Wahab, Samik.(ed). 2000. Ilmu Kesehatan Anak.(Ed. Ke-15 vol 2).Jakarta : Buku Kedokteran EGC
HEMODIALISIS
Hemodialisis (HD) adalah cara pengobatan / prosedur tindakan untuk memisahkan darah dari zat-zat sisa / racun yang dilaksanakan dengan mengalirkan darah melalui membran semipermiabel dimana zat sisa atau racun ini dialihkan dari darah ke cairan dialisat yang kemudian dibuang, sedangkan darah kembali ke dalam tubuh sesuai dengan arti dari hemo yang berarti darah dan dialisis yang berarti memindahkan.
Indikasi HD
A. Segera
Encephalopathy, pericarditis, neouropati perifer, hiperkalemi dan asidosis metabolic, hipertensi maligna, edema paru, oligouri berat atau anuri.
B. Dini atau profilaksis
1. Sindroma uremia, penyakit tulang, gangguan pertumbuhan.
2. Laboratoriun abnormal : asidosis metabolic, azotemia (kreatinin 8 – 12 mg%, BUN 100 – 120 mg%, CCT kurang dari 5 – 10 mL.menit)
Komplikasi HD
Beberapa komplikasi selama dialysis (intra dialysis) tidak jarang ditemukan dan mengganggu kenyamanan pasien hemodialisis
1. Hipotensi
2. Kram otot
3. Mual dan muntah
4. Sakit kepala
5. Sakit dada
6. Sakit pinggang
7. Gatal-gatal
8. Febris
MANFAAT HEMODIALISA
1. Meningkatkan Kualitas Hidup Bagi Penderita Gagal Ginjal Terminal
2. Meningkatkan Status Fungsional Penderita Gagal Ginjal Terminal Agar Tetap Dalam Kondisi Baik Prima
FASILITAS UNIT HEMODIALISA
1. Menggunakan mesin hemodialisa dengan sistem komputerisasi standar internasional.
2. Mesin hemodialisa yang pengoperasiannya praktis sehingga membuat pasien merasa aman, nyaman/tenang dan akurat.
3. Mesin hemodialisa dapat menggunakan cairan dialisa ACETAT dan BICARBONATE.
4. Menggunakan water treatment dengan R/O sistem sehingga pasien merasa aman, tenang dan bebas bakteri.
5. Dilayani oleh dokter spesialis penyakit dalam dan tenaga ahli yang telah dididik secara khusus untuk tindakan dialisa bagi penderita gagal ginjal terminal.
6. Ruangan terasa nyaman dengan menggunakan AC, televisi dan tepat tidur yang mudah diatur pada beberapa posisi.
SIAPA YANG PERLU DIALISA ?
1. Penderita gagal ginjal terminal atau kronis.
2. Penderita gagal ginjal akut dimana kadar racun dalam darah cukup tinggi.
3. Untuk persiapan operasi bagi penderita dengan gagal ginjal.
Referensi :
1. Nephrology Channel (2001) : Renal Replacement Therapy. www.nephrologychannel.com
2. Haven L (2005) : Hemodialysis. Yahoo! Health.
3. Wikipedia (2007) : Kidney. en.wikipedia.or
Hemodialisis (HD) adalah cara pengobatan / prosedur tindakan untuk memisahkan darah dari zat-zat sisa / racun yang dilaksanakan dengan mengalirkan darah melalui membran semipermiabel dimana zat sisa atau racun ini dialihkan dari darah ke cairan dialisat yang kemudian dibuang, sedangkan darah kembali ke dalam tubuh sesuai dengan arti dari hemo yang berarti darah dan dialisis yang berarti memindahkan.
Indikasi HD
A. Segera
Encephalopathy, pericarditis, neouropati perifer, hiperkalemi dan asidosis metabolic, hipertensi maligna, edema paru, oligouri berat atau anuri.
B. Dini atau profilaksis
1. Sindroma uremia, penyakit tulang, gangguan pertumbuhan.
2. Laboratoriun abnormal : asidosis metabolic, azotemia (kreatinin 8 – 12 mg%, BUN 100 – 120 mg%, CCT kurang dari 5 – 10 mL.menit)
Komplikasi HD
Beberapa komplikasi selama dialysis (intra dialysis) tidak jarang ditemukan dan mengganggu kenyamanan pasien hemodialisis
1. Hipotensi
2. Kram otot
3. Mual dan muntah
4. Sakit kepala
5. Sakit dada
6. Sakit pinggang
7. Gatal-gatal
8. Febris
MANFAAT HEMODIALISA
1. Meningkatkan Kualitas Hidup Bagi Penderita Gagal Ginjal Terminal
2. Meningkatkan Status Fungsional Penderita Gagal Ginjal Terminal Agar Tetap Dalam Kondisi Baik Prima
FASILITAS UNIT HEMODIALISA
1. Menggunakan mesin hemodialisa dengan sistem komputerisasi standar internasional.
2. Mesin hemodialisa yang pengoperasiannya praktis sehingga membuat pasien merasa aman, nyaman/tenang dan akurat.
3. Mesin hemodialisa dapat menggunakan cairan dialisa ACETAT dan BICARBONATE.
4. Menggunakan water treatment dengan R/O sistem sehingga pasien merasa aman, tenang dan bebas bakteri.
5. Dilayani oleh dokter spesialis penyakit dalam dan tenaga ahli yang telah dididik secara khusus untuk tindakan dialisa bagi penderita gagal ginjal terminal.
6. Ruangan terasa nyaman dengan menggunakan AC, televisi dan tepat tidur yang mudah diatur pada beberapa posisi.
SIAPA YANG PERLU DIALISA ?
1. Penderita gagal ginjal terminal atau kronis.
2. Penderita gagal ginjal akut dimana kadar racun dalam darah cukup tinggi.
3. Untuk persiapan operasi bagi penderita dengan gagal ginjal.
Referensi :
1. Nephrology Channel (2001) : Renal Replacement Therapy. www.nephrologychannel.com
2. Haven L (2005) : Hemodialysis. Yahoo! Health.
3. Wikipedia (2007) : Kidney. en.wikipedia.or

askep amputasi
AMPUTASI
Pengertian Amputasi
Amputasi berasal dari kata “amputare” yang kurang lebih diartikan “pancung”.
Amputasi dapat diartikan sebagai tindakan memisahkan bagian tubuh sebagian atau seluruh bagian ekstremitas. Tindakan ini merupakan tindakan yang dilakukan dalam kondisi pilihan terakhir manakala masalah organ yang terjadi pada ekstremitas sudah tidak mungkin dapat diperbaiki dengan menggunakan teknik lain, atau manakala kondisi organ dapat membahayakan keselamatan tubuh klien secara utuh atau merusak organ tubuh yang lain seperti dapat menimbulkan komplikasi infeksi.
Kegiatan amputasi merupakan tindakan yang melibatkan beberapa sistem tubuh seperti sistem integumen, sistem persyarafan, sistem muskuloskeletal dan sisten cardiovaskuler. Labih lanjut ia dapat menimbulkan madsalah psikologis bagi klien atau keluarga berupa penurunan citra diri dan penurunan produktifitas.
Penyebab / faktor predisposisi terjadinya amputasi
Tindakan amputasi dapat dilakukan pada kondisi :
1. Fraktur multiple organ tubuh yang tidak mungkin dapat diperbaiki.
2. Kehancuran jaringan kulit yang tidak mungkin diperbaiki.
3. Gangguan vaskuler/sirkulasi pada ekstremitas yang berat.
4. Infeksi yang berat atau beresiko tinggi menyebar ke anggota tubuh lainnya.
5. Adanya tumor pada organ yang tidak mungkin diterapi secara konservatif.
6. Deformitas organ.
Jenis Amputasi
Berdasarkan pelaksanaan amputasi, dibedakan menjadi :
1. amputasi selektif/terencana
Amputasi jenis ini dilakukan pada penyakit yang terdiagnosis dan mendapat penanganan yang baik serta terpantau secara terus-menerus. Amputasi dilakukan sebagai salah satu tindakan alternatif terakhir
2. amputasi akibat trauma
Merupakan amputasi yang terjadi sebagai akibat trauma dan tidak direncanakan. Kegiatan tim kesehatan adalah memperbaiki kondisi lokasi amputasi serta memperbaiki kondisi umum klien.
3. amputasi darurat
Kegiatan amputasi dilakukan secara darurat oleh tim kesehatan. Biasanya merupakan tindakan yang memerlukan kerja yang cepat seperti pada trauma dengan patah tulang multiple dan kerusakan/kehilangan kulit yang luas.
Jenis amputasi yang dikenal adalah :
1. amputasi terbuka
2. amputasi tertutup.
Amputasi terbuka dilakukan pada kondisi infeksi yang berat dimana pemotongan pada tulang dan otot pada tingkat yang sama. Amputasi tertutup dilakukan dalam kondisi yang lebih memungkinkan dimana dibuat skaif kulit untuk menutup luka yang dibuat dengan memotong kurang lebih 5 sentimeter dibawah potongan otot dan tulang.
Setelah dilakukan tindakan pemotongan, maka kegiatan selanjutnya meliputi perawatan luka operasi/mencegah terjadinya infeksi, menjaga kekuatan otot/mencegah kontraktur, mempertahankan intaks jaringan, dan persiapan untuk penggunaan protese ( mungkin ).
Berdasarkan pada gambaran prosedur tindakan pada klien yang mengalami amputasi maka perawat memberikan asuhan keperawatan pada klien sesuai dengan kompetensinya.
Manajemen Keperawatan
Kegiatan keperawatan yang dilakukan pada klien dapat dibagi dalam tiga tahap yaitu pada tahap preoperatif, tahap intraoperatif, dan pada tahap postoperatif.
1. Pre Operatif
Pada tahap praoperatif, tindakan keperawatan lebih ditekankan pada upaya untuk mempersiapkan kondisi fisik dan psikolgis klien dalam menghadapi kegiatan operasi.
Pada tahap ini, perawat melakukan pengkajian yang erkaitan dengan kondisi fisik, khususnya yang berkaitan erat dengan kesiapan tubuh untuk menjalani operasi.
Pengkajian Riwayat Kesehatan
Perawat memfokuskan pada riwayat penyakit terdahulu yang mungkin dapat mempengaruhi resiko pembedahan seperti adanya penyakit diabetes mellitus, penyakit jantung, penyakit ginjal dan penyakit paru. Perawat juga mengkaji riwayat penggunaan rokok dan obat-obatan.
Pengkajian Fisik
Pengkajian fisik dilaksanakan untuk meninjau secara umum kondisi tubuh klien secara utuh untuk kesiapan dilaksanakannya tindakan operasi manakala tindakan amputasi merupakan tindakan terencana/selektif, dan untuk mempersiapkan kondisi tubuh sebaik mungkin manakala merupakan trauma/ tindakan darurat.
Kondisi fisik yang harus dikaji meliputi :
SISTEM TUBUH KEGIATAN
Integumen :
Kulit secara umum.
Lokasi amputasi Mengkaji kondisi umum kulit untuk meninjau tingkat hidrasi.
Lokasi amputasi mungkin mengalami keradangan akut atau kondisi semakin buruk, perdarahan atau kerusakan progesif. Kaji kondisi jaringan diatas lokasi amputasi terhadap terjadinya stasis vena atau gangguan venus return.
Sistem Cardiovaskuler :
Cardiac reserve
Pembuluh darah Mengkaji tingkat aktivitas harian yang dapat dilakukan pada klien sebelum operasi sebagai salah satu indikator fungsi jantung.
Mengkaji kemungkinan atherosklerosis melalui penilaian terhadap elastisitas pembuluh darah.
Sistem Respirasi Mengkaji kemampuan suplai oksigen dengan menilai adanya sianosis, riwayat gangguan nafas.
Sistem Urinari Mengkaji jumlah urine 24 jam.
Menkaji adanya perubahan warna, BJ urine.
Cairan dan elektrolit Mengkaji tingkat hidrasi.
Memonitor intake dan output cairan.
Sistem Neurologis Mengkaji tingkat kesadaran klien.
Mengkaji sistem persyarafan, khususnya sistem motorik dan sensorik daerah yang akan diamputasi.
Sistem Mukuloskeletal Mengkaji kemampuan otot kontralateral.
Pengkajian Psikologis, Sosial, Spiritual
Disamping pengkajian secara fisik perawat melakukan pengkajian pada kondisi psikologis ( respon emosi ) klien yaitu adanya kemungkinan terjadi kecemasan pada klien melalui penilaian klien terhadap amputasi yang akan dilakukan, penerimaan klien pada amputasi dan dampak amputasi terhadap gaya hidup. Kaji juga tingkat kecemasan akibat operasi itu sendiri. Disamping itu juga dilakukan pengkajian yang mengarah pada antisipasi terhadap nyeri yang mungkin timbul.
Perawat melakukan pengkajian pada gambaran diri klien dengan memperhatikan tingkatr persepsi klien terhadap dirinya, menilai gambaran ideal diri klien dengan meninjau persepsi klien terhadap perilaku yang telah dilaksanakan dan dibandingkan dengan standar yang dibuat oleh klien sendiri, pandangan klien terhadap rendah diri antisipasif, gangguan penampilan peran dan gangguan identitas.
Adanya gangguan konsep diri antisipasif harus diperhatikan secara seksama dan bersama-sama dengan klien melakukan pemilihan tujuan tindakan dan pemilihan koping konstruktif.
Adanya masalah kesehatan yang timbul secara umum seperti terjadinya gangguan fungsi jantung dan sebagainya perlu didiskusikan dengan klien setelah klien benar-benar siap untuk menjalani operasi amputasi itu sendiri. Kesadaran yang penuh pada diri klien untuk berusaha berbuat yang terbaik bagi kesehatan dirinya, sehingga memungkinkan bagi perawat untuk melakukan tindakan intervensi dalam mengatasi masalah umum pada saat pre operatif. Asuhan keperawatan pada klien preoperatif secara umum tidak dibahas pada makalah ini.
Laboratorik
Tindakan pengkajian dilakukan juga dengan penilaian secara laboratorik atau melalui pemeriksaan penunjang lain secara rutin dilakukan pada klien yang akan dioperasi yang meliputi penilaian terhadap fungsi paru, fungsi ginjal, fungsi hepar dan fungsi jantung.
Diagnosa Keperawatan dan Perencanaan
Dari pengkajian yang telah dilakukan, maka diagnosa keperawatan yang dapat timbul antara lain :
1. Kecemasan berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kegiatan perioperatif.
Karakteristik penentu :
• Mengungkapkan rasa tajut akan pembedahan.
• Menyatakan kurang pemahaman.
• Meminta informasi.
Tujuan : Kecemasan pada klien berkurang.
Kriteria evaluasi :
• Sedikit melaporkan tentang gugup atau cemas.
• Mengungkapkan pemahaman tentang operasi.
INTERVENSI RASIONAL
Memberikan bantuan secara fisik dan psikologis, memberikan dukungan moral.
Menerangkan prosedur operasi dengan sebaik-baiknya.
Mengatur waktu khusus dengan klien untuk berdiskusi tentang kecemasan klien. Secara psikologis meningkatkan rasa aman dan meningkatkan rasa saling percaya.
Meningkatkan/memperbaiki pengetahuan/ persepsi klien.
Meningkatkan rasa aman dan memungkinkan klien melakukan komunikasi secara lebih terbuka dan lebih akurat.
2. Berduka yang antisipasi (anticipated griefing) berhubungan dengan kehilangan akibat amputasi.
Karakteristik penentu :
• Mengungkapkan rasa takut kehilangan kemandirian.
• Takut kecacatan.
• Rendah diri, menarik diri.
Tujuan : Klien mampu mendemontrasikan kesadaran akan dampak pembedahan pada citra diri.
Kriteria evaluasi :
• mengungkapkan perasaan bebas, tidak takut.
• Menyatakan perlunya membuat penilaian akan gaya hidup yangbaru.
INTERVENSI RASIONAL
Anjurkan klien untuk mengekspresikan perasaan tentang dampak pembedahan pada gaya hidup.
Berikan informasi yang adekuat dan rasional tentang alasan pemilihan tindakan pemilihan amputasi.
Berikan informasi bahwa amputasi merupakan tindakan untuk memperbaiki kondisi klien dan merupakan langkah awal untuk menghindari ketidakmampuan atau kondisi yang lebih parah.
Fasilitasi untuk bertemu dengan orang dengan amputasi yang telah berhasil dalam penerimaan terhadap situasi amputasi. Mengurangi rasa tertekan dalam diri klien, menghindarkan depresi, meningkatkan dukungan mental.
Membantu klien mengapai penerimaan terhadap kondisinya melalui teknik rasionalisasi.
Meningkatkan dukungan mental.
Strategi untuk meningkatkan adaptasi terhadap perubahan citra diri.
Selain masalah diatas, maka terdapat beberapa tindakan keperawatan preoperatif antara lain :
• Mengatasi nyeri
• Menganjurkan klien untuk menggunakan teknik dalam mengatsi nyeri.
• Menginformasikan tersdianya obat untuk mengatasi nyeri.
• Menerangkan pada klien bahwa klien akan “merasakan” adanya kaki untuk beberapa waktu lamanya, sensasi ini membantu dalam menggunakan kaki protese atau ketika belajar mengenakan kaki protese.
• Mengupayakan pengubahan posisi tubuh efektif
• Menganjurkan klien untuk mengubah posisi sendiri setiap 1 – 2 jam untuk mencegah kontraktur.
• Membantu klien mempertahankan kekuatan otot kaki ( yang sehat ), perut dan dada sebagai persiapan untuk penggunaan alat penyangga/kruk.
• Mengajarkan klien untuk menggunakan alat bantu ambulasi preoperasi, untuk membantu meningkatkan kemampuan mobilitas posoperasi, memprtahankan fungsi dan kemampuan dari organ tubuh lain.
• Mempersiapkan kebutuhan untuk penyembuhan
• Mengklarifikasi rencana pembedahan yang akan dilaksanakan kepada tim bedah.
• Meyakinkan bahwa klien mendapatkan protese/alat bantu ( karena tidak semua klien yang mengalami operasi amputasi mendapatkan protese seperti pada penyakit DM, penyakit jantung, CVA, infeksi, dan penyakit vaskuler perifer, luka yang terbuka ).
• Semangati klien dalam persiapan mental dan fisik dalam penggunaan protese.
• Ajarkan tindakan-tindakan rutin postoperatif : batuk, nafas dalam.
2. Intra Operatif
Pada masa ini perawat berusaha untuk tetap mempertahankan kondisi terbaik klie. Tujuan utama dari manajemen (asuhan) perawatan saat ini adalah untuk menciptakan kondisi opyimal klien dan menghindari komplikasi pembedahan.
Perawat berperan untuk tetap mempertahankan kondisi hidrasi cairan, pemasukan oksigen yang adekuat dan mempertahankan kepatenan jalan nafas, pencegahan injuri selama operasi dan dimasa pemulihan kesadaran. Khusus untuktindakan perawatan luka, perawat membuat catatan tentang prosedur operasi yang dilakukan dan kondisi luka, posisi jahitan dan pemasangan drainage. Hal ini berguna untuk perawatan luka selanjutnya dimasa postoperatif.
Makalah ini tidak membahas secara detail kegiatan intraoperasi.
3. Post Operatif
Pada masa post operatif, perawat harus berusaha untuk mempertahankan tanda-tanda vital, karena pada amputasi, khususnya amputasi ekstremitas bawah diatas lutut merupakan tindakan yang mengancam jiwa.
Perawat melakukan pengkajian tanda-tanda vital selama klien belum sadar secara rutin dan tetap mempertahankan kepatenan jalas nafas, mempertahankan oksigenisasi jaringan, memenuhi kebutuhan cairan darah yang hilang selama operasi dan mencegah injuri.
Daerah luka diperhatikan secara khusus untuk mengidentifikasi adanya perdarahan masif atau kemungkinan balutan yang basah, terlepas atau terlalu ketat. Selang drainase benar-benar tertutup. Kaji kemungkinan saluran drain tersumbat oleh clot darah.
Awal masa postoperatif, perawat lebih memfokuskan tindakan perawatan secara umum yaitu menstabilkan kondisi klien dan mempertahankan kondisi optimum klien.
Perawat bertanggungjawab dalam pemenuhan kebutuhan dasar klien, khususnya yang dapat menyebabkan gangguan atau mengancam kehidupan klien.
Berikutnya fokus perawatan lebih ditekankan pada peningkatan kemampuan klien untuk membentuk pola hidup yang baru serta mempercepat penyembuhan luka. Tindakan keperawatan yang lain adalah mengatasi adanya nyeri yang dapat timbul pada klien seperti nyeri Panthom Limb dimana klien merasakan seolah-olah nyeri terjadi pada daerah yang sudah hilang akibat amputasi. Kondisi ini dapat menimbulkan adanya depresi pada klien karena membuat klien seolah-olah merasa ‘tidak sehat akal’ karena merasakan nyeri pada daerah yang sudah hilang. Dalam masalah ini perawat harus membantu klien mengidentifikasi nyeri dan menyatakan bahwa apa yang dirasakan oleh klien benar adanya.
Diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan antara lain adalah :
1. Gangguan rasa nyaman : Nyeri berhubungan dengan insisi bedah sekunder terhadap amputasi
Karakteristik penentu :
• Menyatakan nyeri.
• Merintih, meringis.
Tujuan : nyeri hilang / berkurang.
Kriteria evaluasi :
• Menyatakan nyeri hilang.
• Ekspresi wajah rileks.
INTERVENSI RASIONAL
Evaluasi nyeri : berasal dari sensasi panthom limb atau dari luka insisi. Bila terjadi nyeri panthom limb
Beri analgesik ( kolaboratif ).
Ajarkan klien memberikan tekanan lembut dengan menempatkan puntung pada handuk dan menarik handuk dengan berlahan. Sensasi panthom limb memerlukan waktu yang lama untuk sembuh daripada nyeri akibat insisi.
Klien sering bingung membedakan nyeri insisi dengan nyeri panthom limb.
Untuk menghilangkan nyeri
Mengurangi nyeri akibat nyeri panthom limb
2. Gangguan konsep diri berhubungan dengan perubahan citra tubuh sekunder terhadap amputasi
Karakteristik penentu :
• Menyatakan berduka tentang kehilangan bagian tubuh.
• Mengungkapkan negatif tentang tubuhnya.
• Depresi.
Tujuan : Mendemontrasikan penerimaan diri pada situasi yang baru.
Kriteria evaluasi :
• Menyatakan penerimaan terhadap penerimaan diri.
• Membuat rencana untuk melanjutkan gaya hidup.
INTERVENSI RASIONAL
Validasi masalah yang dialami klien.
Libatkan klien dalam melakukan perawatan diri yang langsung menggunakan putung :
• Perawatan luka.
• Mandi.
• Menggunakan pakaian.
Berikan dukungan moral.
Hadirkan orang yang pernah amputasi yang telah menerima diri. Meninjau perkembangan klien.
Mendorong antisipasi meningkatkan adaptasi pada perubahan citra tubuh.
Meningkatkan status mental klien.
Memfasilitasi penerimaan terhadap diri.
3. Resiko tinggi terhadap komplikasi : Infeksi, hemorragi, kontraktur, emboli lemak berhubungan dengan amputasi
Karakteristik penentu :
• Terdapat tanda resiko infeksi, perdarahan berlebih, atau emboli lemak.
Tujuan : tidak terjadi komplikasi.
Kriteria evaluasi : tidak ada infeksi, hemorragi dan emboli lemak.
INTERVENSI RASIONAL
Infeksi
Lakukan perawatan luka adekuat.
Mencegah terjadinya infeksi.
Perdarahan
Pantau :
-Masukan dan pengeluaran cairan.
- Tanda-tanda vital tiap 4 jam.
- Kondisi balutan tiap 4-8 jam.
•
Menghindari resiko kehilangan cairan dan resiko terjadinya perdarahan pada daerah amputasi.
Sebagai monitor status hemodinamik
Indikator adanya perdaraham masif
Emboli lemak
Monitor pernafasan.
Persiapkan oksigen
Pertahankan posisi flower atau tetap tirah baring selama beberapa waktu
Memantau tanda emboli lemak sedini mungkin
Untuk mempercepat tindakan bila sewaktu-waktu dperlukan untuk tindakan yang cepat.
Mengurangi kebutuhan oksigen jaringan atau memudahkan pernafasan.
Beberapa kegiatan keperawatan lain yang dilakukan adalah :
• Melakukan perawatan luka postoperasi
• Mengganti balutan dan melakukan inspeksi luka.
• Terangkan bahwa balutan mungkin akan digunakan hingga protese yang digunakan telah tepat dengan kondisi daerah amputasi (6 bulan –1 tahun).
• Membantu klien beradaptasi dengan perubahan citra diri
• Memberi dukungan psikologis.
• Memulai melakukan perawatan diri atau aktivitas dengan kondisi saat ini.
• Mencegah kontraktur
• Menganjurkan klien untuk melakukan gerakan aktif pada daerah amputasi segera setelah pembatasan gerak tidak diberlakukan lagi.
• Menerangkan bahwa gerakan pada organ yang diamputasi berguna untuk meningkatkan kekuatan untuk penggunaan protese, menghindari terjadinya kontraktur.
• Aktivitas perawatan diri
• Diskusikan ketersediaan protese ( dengan terapis fisik, ortotis ).
• Mengajari klien cara menggunakan dan melepas protese.
• Menyatakan bahwa klien idealnya mencari bantuan/superfisi dari tim rehabilitasi kesehatan selama penggunaan protese.
• Mendemontrasikan alat-alat bantu khusus.
• Mengajarkan cara mengkaji adanya gangguan kulit akibat penggunaan protese.
Kesimpulan
Asuhan keperawatan pada klien yang mengalami amputasi merupakan bentuk asuhan kompleks yang melibatkan aspek biologis, spiritual dan sosial dalam proporsi yang cukup besar ke seluruh aspek tersebut perlu benar-benar diperhatikan sebaik-baiknya.
Tindakan amputasi merupakan bentuk operasi dengan resiko yang cukup besar bagi klien sehingga asuhan keperawatan perioperatif harus benar-benar adekuat untuk memcapai tingkat homeostatis maksimal tubuh. Manajemen keperawatan harus benar-benar ditegagkkan untuk membantu klien mencapai tingkat optimal dalam menghadapi perubahan fisik dan psikologis akibat amputasi.(anas)
REFERENSI
Engram, Barbara ( 1999 ), Rencana Asuhan Keperawatan Medikal – Bedah, edisi Indonesia, EGC, Jakarta.
Brunner, Lillian S; Suddarth, Doris S ( 1986 ), Manual of Nursing Practice, 4th edition, J.B. Lippincott Co. Philadelphia.
Kozier, erb; Oliveri ( 1991 ), Fundamentals of Nursing, Concepts, Process and Practice, Addison-Wesley Co. California.
Reksoprodjo, S; dkk ( 1995 ), Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Bina Rupa Aksara, Jakarta.

ENDOMETRITIS
A. PENGERTIAN
a. Endometritis adalah suatu peradangan endometrium yang biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri pada jaringan. (Taber, B., 1994).
b. Endometritis adalah infeksi pada endometrium (lapisan dalam dari rahim). (Manuaba, I. B. G., 1998).
c. Endometritis adalah suatu infeksi yag terjadi di endometrium, merupakan komplikasi pascapartum, biasanya terjadi 48 sampai 72 jam setelah melahirkan.
B. ETIOLOGI
Endometritis sering ditemukan pada wanita setelah seksio sesarea terutama bila sebelumnya ada riwayat koriomnionitis, partus lama, pecah ketuban yang lama. Penyebab lainnya dari endometritis adalah adanya tanda jaringan plasenta yang tertahan setelah abortus dan melahirkan. (Taber, B. 1994).
Menurut Varney, H. (2001), hal-hal yang dapat menyebabkan infeksi pada wanita adalah:
1. Waktu persalinan lama, terutama disertai pecahnya ketuban.
2. Pecahnya ketuban berlangsung lama.
3. Adanya pemeriksaan vagina selama persalinan dan disertai pecahnya ketuban.
4. Teknik aseptik tidak dipatuhi.
5. Manipulasi intrauterus (pengangkatan plasenta secara manual).
6. Trauma jaringan yang luas/luka terbuka.
7. Kelahiran secara bedah.
8. Retensi fragmen plasenta/membran amnion.
C. KLASIFIKASI
Endometritis akut
Pada endometritis post partum regenerasi endometrium selesai pada hari ke-9, sehingga endometritis post partum pada umumnya terjadi sebelum hari ke-9. Endometritis post abortum terutama terjadi pada abortus provokatus.
Pada endometritis akut, endometrium mengalami edema dan pada pemeriksaan mikroskopik terdapat hiperemi, edema dan infiltrasi leukosit berinti polimorf yang banyak, serta perdarahan-perdarahan interstisial. Sebab yang paling penting ialah infeksi gonorea dan infeksi pada abortus dan partus.Infeksi gonorea mulai sebagai servisitis akut, dan radang menjalar ke atas dan menyebabkan endometritis akut. Infeksi gonorea .
Pada abortus septik dan sepsis puerperalis infeksi cepat meluas ke miometrium dan melalui pembuluh-pembuluh darah limfe dapat menjalar ke parametrium, ketuban dan ovarium, dan ke peritoneum sekitarnya. Gejala-gejala endometritis akut dalam hal ini diselubungi oleh gejala-gejala penyakit dalam keseluruhannya. Penderita panas tinggi, kelihatan sakit keras, keluar leukorea yang bernanah, dan uterus serta daerah sekitarnya nyeri pada perabaan.
Sebab lain endometritis akut ialah tindakan yang dilakukan dalam uterus di luar partus atau abortus, seperti kerokan, memasukan radium ke dalam uterus, memasukan IUD (intra uterine device) ke dalam uterus, dan sebagainya.
Tergantung dari virulensi kuman yang dimasukkan dalam uterus, apakah endometritis akut tetap berbatas pada endometrium, atau menjalar ke jaringan di sekitarnya.
Endometritis akut yang disebabkan oleh kuman-kuman yang tidak seberapa patogen pada umumnya dapat diatasi atas kekuatan jaringan sendiri, dibantu dengan pelepasan lapisan fungsional dari endometrium pada waktu haid. Dalam pengobatan endometritis akuta yang paling penting adalah berusaha mencegah, agar infeksi tidak menjalar.
MANIFESTASI KLINIS
• Demam
• Lochea berbau : pada endometritis post abortum kadang-kadang keluar flour yang purulent.
• Lochea lama berdarah malahan terjadi metrorrhagi.
• Kalau radang tidak menjalar ke parametrium atau parametrium tidak nyeri.
Terapi :
• Uterotonika.
• Istirahat, letak fowler.
• Antibiotika.
• Endometritis senilis perlu dikuret untuk menyampingkan corpus carsinoma. Dapat diberi estrogen.
Endometritis kronik
Endometritis kronik tidak seberapa sering terdapat, oleh karena itu infeksi yang tidak dalam masuknya pada miometrium, tidak dapat mempertahankan diri, karena pelepasan lapisan fungsional darn endometrium pada waktu haid. Pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan banyak sel-sel plasma dan limfosit. Penemuan limfosit saja tidak besar artinya karena sel itu juga ditemukan dalam keadaan normal dalam endometrium.
Manifestasi klinis
Endometritis kronika adalah leukorea dan menorargia.Pengobatan tergantung dari penyebabnya.
Endometritis kronis ditemukan:
1. Pada tuberkulosis.
2. Jika tertinggal sisa-sisa abortus atau partus.
3. Jika terdapat korpus alineum di kavum uteri.
4. Pada polip uterus dengan infeksi.
5. Pada tumor ganas uterus.
6. Pada salpingo – oofaritis dan selulitis pelvik.
Endometritis tuberkulosa terdapat pada hampir setengah kasus-kasus TB genital. Pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan tuberkel pada tengah-tengah endometrium yang meradang menahun.
Pada abortus inkomplitus dengan sisa-sisa tertinggal dalam uterus terdapat desidua dan vili korealis di tengah-tengah radang menahun endometrium.Pada partus dengan sisa plasenta masih tertinggal dalam uterus, terdapat peradangan dan organisasi dari jaringan tersebut disertai gumpalan darah, dan terbentuklah apa yang dinamakan polip plasenta.
Endometritis kronika yang lain umumnya akibat ineksi terus-menerus karena adanya benda asing atau polip/tumor dengan infeksi di dalam kavum uteri.
Gejalanya :
• Flour albus yang keluar dari ostium.
• Kelainan haid seperti metrorrhagi dan menorrhagi.
Terapi :
Perlu dilakukan kuretase.
D. GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis dari endometritis tergantung pada jenis dan virulensi kuman, daya tahan penderita dan derajat trauma pada jalan lahir. Kadang-kadang lokhea tertahan oleh darah, sisa-sisa plasenta dan selaput ketuban. Keadaan ini dinamakan lokiometra dan dapat menyebabkan kenaikan suhu yang segera hilang setelah rintangan dibatasi. Uterus pada endometrium agak membesar, serta nyeri pada perabaan, dan lembek. Pada endometritis yang tidak meluas penderita pada hari-hari pertama merasa kurang sehat dan perut nyeri, mulai hari ke 3 suhu meningkat, nadi menjadi cepat, akan tetapi dalam beberapa hari suhu dan nadi menurun, dan dalam kurang lebih satu minggu keadaan sudah normal kembali, lokhea pada endometritis, biasanya bertambah dan kadang-kadang berbau. Hal yang terakhir ini tidak boleh menimbulkan anggapan bahwa infeksinya berat. Malahan infeksi berat kadang-kadang disertai oleh lokhea yang sedikit dan tidak berbau.
Gambaran klinik dari endometritis:
1. Nyeri abdomen bagian bawah.
2. Mengeluarkan keputihan (leukorea).
3. Kadang terjadi pendarahan.

kesuksesan
jauhkanlah pikiran anda dari semua yang rendah
lagi tiada harapan bagi keberadaannya
pusatkan pikiran anda pada kesuksesan
niscahaya anda tidak akan ragu untuk melangkah
maju
bersikap optimis
sekalipun anda berada dalam badai
kebahagiaan
esok akan merekah bunga yang harum aromanya
mengusir segala kesedihan
dan menjadi penghibur hati
wanita mulya
bukan emas permata yang mempercantik anda
melainkan ahklak anda dan etika anda
wanita yang berakal
dapat mengubah sahaya
menjadi taman yang indah lagi subur
disetiap bagian kehidupan anda pasti akan menemui sisi yang gelap
tiada lain bagi anda untuk menangulanginya
kecuali dengan pelita dalam diri anda sendiri
cita-cita
jangan putus asa terhadap diri anda
karna peralihan itu lambat jalannya
dan anda akan menjumpai hambatan-hambatan
yang dapat memadamkan cita-cita
berupayalah untuk menangulanginya
dan jangan biarkan dia mengalahkan anda
pemberian yang paling utama & paling jernih
adalah dari mereka yang tidak mempunyai sesuatupun tetapi mereka
mengetahui nilai kata-kata
dan senyuman
karena berapa bnyak orang yang memberi
tapi seakan-akan bukan pemberian yang merka hadiahkan melainkan tamparan
jangan biarkan sisi gelap dalam kehidupan anda
karena cahaya itu sudah ada
dan anda hanya perlu memijit tombol untu menyalakan penerangan
Langganan:
Komentar (Atom)