BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kehadiran bakteri patogen atau hasil metabolismenya di dalam ikan asap dapat menimbulkan gangguan kesehatan berupa keracunan (intoksikasi) dan infeksi. Salah satu bakteri yang dicurigai terdapat di dalam ikan asap adalah staphylococcus aureus. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kualitas bakteriologis ikan asap di semarang dan praktik higiene pada tingkat produsen dan penjual. Metode yang digunakan adalah survey dengan pendekatan cross sectional.
Penelitian ini dilakukan pada bulan juli-desember 2004.sampel pada penelitian ini terdiri dari 2 macam yaitu sampel responden dan sampel ikan.sampel responden diambil dengan cara total populasi sebanyak 69 responden, sedangkan untuk sampel ikan diambil dengan purposive sampling sebanyak 32 sampel. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan hasil bahwa rata-rata jumlah staphylococcus aureus pada tingkat produsen, penjual yang sekaligus sebagai produsen dan penjual biasa masing-masing sebesar 0,5x103 koloni/gram, 2,0x103 koloni/gram dan 3,8x103 koloni/gram.
Sedangkan rata-rata total bakteri pada tingkat produsen, penjual yang sekaligus sebagai produsen dan penjual biasa masing-masing sebesar 0,5x106 koloni/gram, 1,0x106 koloni/gram, 1,3x106 koloni/gram. Dari seluruh sampel, proporsi ikan asap yang tercemar staphylococcus aureus melebihi batas maksimum adalah sebesar 14,3% dari penjual biasa. Di tingkat produsen, seluruh ikan asap yang diperiksa masih dalam batas aman (â£106 koloni/gram). Sedangkan di tingkat pen jual terdapat sejumlah sampel yang mengandung total bakteri di atas batas maksimum yaitu sebesar 40% sampel di tingkat penjual yang sekaligus sebagai produsen dan 85,7% di tingkat penjual biasa. Sebanyak 51,4% produsen masuk dalam kategori higiene buruk dan 48,6% termasuk dalam kategori higiene baik. Di tingkat penjual yang sekaligus sebagai produsen 55,6% masuk kategori buruk dan 44,4% masuk dalam kategori higiene baik. Di tingkat penjual biasa 57,1% masuk dalam kategori higiene buruk dan 42,9% masuk dalam kategori higiene baik. Berdasarkan penelitia tersebut peneliti menyarankan agar agar produsen memberikan pengarahan kepada karyawan untuk bekerja secara higienis. Sedangkan kepada penjual disaranlan untuk menyediakan air bersih di sekitar tempat penjualan dan menghindari batu dan bersin di sekitar ikan asap
Staphylococcus aureus dapat membentuk toksin penyebab muntah yang bersifat tahan panas. Tangan dan rongga hidung adalah sumber s. Aureus terbesar sehingga hindari kebiasaan buruk seperti memegang hidung, batuk dan menggaruk wajah saat mengolah
keracunan oleh s. Aureus kebanyakan terjadi pada makanan yang telah dimasak, karena bakteri lain yang dapat menghambat pertumbuhannya sudah berkurang (mati oleh pemasakan). Bakteri ini ada di mana-mana (udara, debu, air, dll) dan flora normal pada berbagai bagian tubuh manusia terutama pada kulit, hidung dan mulut sehingga sangat mudah merekontaminasi makanan yang sudah dimasak .
Bakteri ini memproduksi toksin (enterotoksin) yang bersifat stabil terhadap pemanasan (termostabil), tahan terhadap aktivitas pemecahan oleh enzim-enzim pencernaan, dan relatif resisten terhadap pengeringan. Selain enterotoksin, dia juga memproduksi hemolisin (toksin yang dapat merusak dan memecah sel-sel darah merah). Substrat yang baik untuk pertumbuhan dan produksi enterotoksin ialah substrat atau makanan yang mengandung protein seperti daging, ikan, susu dan produk olahannya. Sementara itu keberadaan bakteri s.aureus dan toksin yang dihasilkan pada makanan tidak dapat dideteksi secara visual karena tidak menimbulkan perubahan yang nyata pada makanan.
Jika makanan yang mengandung enterotoksin masuk ke dalam saluran pencernaan dan mencapai usus halus, toksin akan merusak dinding usus halus. Keracunan makanan oleh enterotoksin memiliki masa inkubasi yang pendek (hanya beberapa jam) dengan gejala-gejala mual, sakit perut, muntah-muntah mendadak, dan diare, tanpa diikuti demam. Muntah-muntah dapat terjadi tanpa diare dan sebaliknya diare dapat terjadi tanpa muntah-muntah. Gejala lain yang sering menyertai ialah sakit kepala, kejang otot perut, kulit dingin dan penurunan tekanan darah.
beberapa tahun terakhir, terjadi peningkatan produksi komersial kelinci sebagai sumber protein. Konsumen memilih daging kelinci untuk dikonsumsi karena kandungan kolesterol dan lemaknya yang rendah. Disamping itu, kelinci juga berperan penting sebagai hewan percobaan dalam penelitian medis maupun sebagai hewan peliharaan (al-mathal, 2008).
Koksidiosis merupakan salah satu penyakit parasitik yang paling sering dan paling umum terjadi, ditandai dengan penurunan berat badan, diare intermiten hingga diare hebat dengan feses mengandung mukus atau darah mengakibatkan dehidrasi dan penurunan perkembangbiakan kelinci (kulišić dkk, 2006). Tercatat sebelas spesies koksidia usus, coecum maupun colon yang memiliki tingkat patogenesitas bervariasi (yakhchali dan tehrani, 2007). Koksidiosis merupakan infeksi protozoa yang menyebabkan gangguan pertumbuhan dan penggunaan nutrisi, hal ini mengakibatkan mortalitas yang signifikan pada kelinci (al-mathal, 2008). Spesies koksidia yang paling penting pada kelinci yaitu eimeria stidae, yang menyerang dan berkembang di sel epitel duktus biliverus hepar kelinci hingga dapat menyebabkan cholestasis dan chirrosis. Koksidiosis merupakan masalah yang umum dan tersebar luas di peternakan komersial maupun penelitian. Koksidiosis penting secara ekonomi dan merupakan penyakit pada kelinci muda, terutama dalam masa pencapaian usia kawin dan tumbuh kembang apabila tingkat sanitasi buruk (yakhchali dan tehrani, 2007).
Pada tanggal 11 november 2008 telah dilakukan euthanasia dan nekropsi terhadap kelinci (oryctolagus cuniculus) jantan umur 2,5 bulan milik bapak warto yang beralamat di dusun padasan pakem sleman jogjakarta. Berdasarkan anamnesa dan survei langsung, diketahui bahwa populasi kelinci 12 ekor, pakan berupa rumput dan kelinci belum pernah diobati. Gejala klinis antara lain kurus yang ditandai dengan costae dan vertebrae tampak menonjol, lemah serta nafsu makan menurun. Tipe kandang berupa kandang panggung terbuat dari bambu dan air minum tidak tersedia di dalam kandang.
B. perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan pembahasan bacterial streptococcus tersebut, dirumuskan beberapa masalah :
1. Bagaimana cara pamariksaan staphylococcus aureus. Bacterial oleh laboratorium?
2. Penyakit-penyakit yang disebabkan bacterial staphylococcus aureus.
3. Berapa banyak anak berusia 28 hari sampai 60 bulan yang berada di daerah geografis dimana penelitian ini diadakan, yang menderita penyakit infeksi akibat bakteri staphylococcus aureus.
C. tujuan penelitian
Tujuan umum:
1. Mengetahui angka kejadian penyakit pneumokokus invasif (ipd) pad anak berumur 28 hari sampai < 60 bulan di beberapa negara asia yang ikut dalam penelitian
2. Mengatahui distribusi serotype staphylococcus aureus. Di beberapa negara asia yang ikut dalam penelitian
Tujuan khusus:
1. Untuk mengetahui :
o Bentuk bacterial tersebut
o Cara pemeriksaan bacterial tersebut
o Cara penilaian bacterial tersebut
o Alat yang digunakan pada pemeriksaan bacterial tersebut
2. Untuk mengetahui apa sebenarnya penyebab dari bacterial staphylococcus aureus.
3. Untuk mengetahui penyakit apa saja yang dapat disebabkan oleh bacterial staphylococcus aureus.
BAB II
PEMBAHASAN
Domain: bacteria
kingdom: eubacteria
phylum: firmicutes
class: bacilli
order: bacillales
family: staphylococcaceae
genus: staphylococcus
species: s. Aureus
binomial name staphylococcus aureus
rosenbach 1884
Staphylococcus aureus (s. Aureus) adalah bakteri gram positif. S. Aureus tumbuh dengan optimum pada suhu 37oc dengan waktu pembelahan 0,47 jam. [1]
S. Aureus termasuk bakteri osmotoleran, yaitu bakteri yang dapat hidup di lingkungan dengan rentang konsentrasi zat terlarut (contohnya garam) yang luas, dan dapat hidup pada konsentrasi nacl sekitar 3 molar.[1] habitat alami s aureus pada manusia adalah di daerah kulit, hidung, mulut, dan usus besar, di mana pada keadaan sistem imun normal, s. Aureus tidak bersifat patogen (mikroflora normal manusia).[1]
S. Aureus merupakan bakteri berbentuk bulat (coccus), yang bila diamati di bawah mikroskop tampak berpasangan, membentuk rantai pendek, atau membentuk kelompok yang tampak seperti tandan buah anggur. Organisme ini gram-positif. Beberapa strain dapat menghasilkan racun protein yang sangat tahan panas, yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia.
hal2 yg hrs diperhatikan dlm identifikasi
Hal hal yg perlu diperhatikan dlm melakukan identifikasi bakteri: - dalam melakukan identifikasi sering kali pasien menolak untuk diperiksa sensitifitasnya terhadap antibiotik mungkin karena alasan biaya. Namun menurut konsensus ahli mikrobiologi, pemeriksaan mikrobiologi klinik harus dilakukan sampai dengan pengujian kepekaan / sensitifitas untuk menghindari resistensi kuman terhadap antibiotik. Pasien yang bandel seringkali menghentikan pengobatan antibiotiknya sebelum obat tersebut habis padahal kelalaian tersebut akan menimbulkan mutasi bakteri yang mengarah kepada resistensi bakteri terhadap antibiotik tertentu. - uji serologi merupakan uji reaksi antara antigen dengan antibodi yang akan menimbulkan aglutinasi. Uji serologi menggunakan antiserum spesifik sehingga sensitifitas atau ketepatan uji serologi relatif tinggi. - pewarnaan basil tahan asam (bta) merupakan uji makroskopik yang memiliki nilai diagnosa yang tinggi karena pemeriksaan tersebut dapat memangkas isolasi bakteri yang akan memakan waktu sampai 8 minggu. - cara pengambilan spesimen harus di perhatikan, contohnya dalam pengambilan sampel darah bukan hanya harus dilakukan secara aseptik untuk menghindari kontaminasi, namun juga harus diperhatikan waktu pengambilannya, karena infeksi bakteri memiliki siklus tertentu. - hati-hati dengan hasil false positive dan false negative. False positif maksudnya dalam sampel seharusnya tidak ditemukan bakteri namun dalam pelaporan / pengerjaan ditemukan bakteri. Hal ini bisa terjadi bila dalam pengerjaan terjadi kontaminasi. False negatif maksudnya dalam sampel seharusnya terdapat bakteri namun dalam pengerjaan / pelaporan tidak ditemukan bakteri. Hal ini bisa terjadi karena kurangnya ketelitian dalam penggunaan ose
Langkah2 dlm identifikasi
Identifikasi dan isolasi bakteri dlm spesimen klinik dr manusia contohnya urin dan cairan dahak. Langkah-langkah dlm melakukan identifikasi yaitu:
1. Pemeriksaan mikroskopik pemeriksaan spesimen menggunakan instrumen mikroskop dgn preparat yg telah dilakukan pewarnaan sesuai dgn keperluan. Pewarnaan sediaan yg sering dilakukan antara lain pewarnaan gram atau pewarnaan spesifik seperti pewarnaan bta (basil tahan asam) menggunakan metode ziehl nelsen atau kinyoun gabbet.
2. Isolasi / penanaman isolasi dikalukan pada media yang sesuai tergantung dari pemeriksaan mikroskopik yang telah dilakukan. Media yang umum dipakai yaitu agar darah, msa (manitol salt agar) dll.
3. Uji biokimia dilakukan untuk melihat aktifitas biokimiawi bakteri dalam media-media yg disediakan. Bakteri akan mensintesis zat-zat kimia tertentu tergantung dgn kemampuannya. Uji biokimia yang digunakan yaitu bontrey pendek, bontrey panjang atau imvic. 4. Uji serologi uji serologi meliputi tes aglutinasi menggunakan plasma koagulasi spesifik, uji katalase dengan indikasi pembentukan gas oksigen, dll.
4. Uji serologi uji serologi meliputi tes aglutinasi menggunakan plasma koagulasi spesifik, uji katalase dengan indikasi pembentukan gas oksigen, dll.
5. Uji kepekaan / sensitivity yaitu tes yang digunakan untuk menguji kepekaan suatu bakteri terhadap antibiotik. Dengan dilakukannya tes ini akan diketahui efektifitas dari beberapa antibiotik yg diujikan utk melihat kemampuannya membunuh bakteri.
6. Uji patogenitas uji kekuatan bakteri dalam menyebabkan penyakit dgn menggunakan hewan percobaan. Dalam uji patogenitas juga termasuk uji toksisitas untuk melihat racun yang dapat dihasilkan oleh bakteri tertentu.
Keracunan makanan staphylococcal (staphyloenterotoxicosis; staphyloenterotoxemia) merupakan nama kondisi yang disebabkan oleh enterotoxin yang diproduksi oleh beberapa strain s. Aureus.
Gejala penyakit ini biasanya terjadi segera setelah infeksi, dan dalam banyak kasus bersifat akut, tergantung pada kerentanan korban terhadap racun, jumlah makanan terkontaminasi yang ditelan, dan kondisi kesehatan korban secara umum. Gejala yang paling umum adalah mual, muntah, retching (seperti muntah tetapi tidak mengeluarkan apa pun), kram perut, dan rasa lemas. Beberapa orang mungkin tidak selalu menunjukkan semua gejala penyakit ini. Dalam kasus-kasus yang lebih parah, dapat terjadi sakit kepala, kram otot, dan perubahan yang nyata pada tekanan darah serta denyut nadi. Proses penyembuhan biasanya memerlukan waktu dua hari, namun, tidak menutup kemungkinan penyembuhan secara total pada kasus-kasus yang parah memerlukan waktu tiga hari atau kadang-kadang lebih.
Dosis infektif—toxin/racun sebanyak kurang dari 1.0 mikrogram dalam makanan yang terkontaminasi dapat menimbuknan gejala keracunan staphylococcal. Tingkat racun ini dicapai apabila populasi s. Aureus lebih dari 100.000 per gram.
Dalam diagnosis keracunan makanan staphylococcal, informasi melalui wawancara dengan korban, serta pengumpulan dan analisa data epidemiologi sangat penting dilakukan. Makanan yang dicurigai harus dikumpulkan dan diperiksa untuk menentukan keberadaan staphylococci. Adanya staphylococci penghasil enterotoxin dalam jumlah cukup besar sudah merupakan bukti yang kuat bahwa makanan tersebut mengandung racun. Pengujian yang paling kuat dalam pengambilan kesimpulan adalah pengujian hubungan antara penyakit dengan makanan tertentu, atau apabila ada lebih dari satu perantara penularan, deteksi racun di dalam sampel makanan. Dalam kasus-kasus di mana makanan mungkin telah diolah untuk membunuh bakteri staphylococci, misalnya dengan pasteurisasi atau pemanasan, pengamatan secara langsung menggunakan mikroskop mungkin berguna dalam diagnosis. Sejumlah metode serologis untuk menentukan kemampuan s. Aureus, yang diisolasi dari makanan, dalam membentuk racun yang menyerang saluran pencernaan, serta metode-metode untuk memisahkan dan mendeteksi racun di dalam makanan telah dikembangkan dan berhasil digunakan untuk membantu diagnosis penyakit tersebut. Phage typing (penentuan strain bakteri dengan menggunakan jenis bakteriofag tertentu) mungkin juga berguna apabila staphylococci yang masih hidup dapat diisolasi dari makanan yang dicurigai, dari korban, dan dari perantara yang dicurigai misalnya pengolah makanan.
Makanan yang sering dicurigai dalam kasus keracunan makanan staphylococcal antara lain daging dan produk daging; daging unggas dan produk telur; salad seperti telur, ikan tuna, kentang, dan macaroni; produk roti seperti kue dengan isi krim, kue krim, dan chocolate éclairs ; roti isi; dan susu dan produk susu. Makanan yang memerlukan banyak penanganan selama penyiapannya dan yang disimpan dalam suhu yang sedikit lebih tinggi setelah dimasak sering menjadi penyebab kasus keracunan makanan staphylococcal.
Staphylococci ada di udara, debu, air buangan, air, susu, dan makanan atau pada peralatan makan, permukaan-permukaan di lingkungan, manusia, dan hewan. Manusia dan hewan merupakan sumber utama infeksi. Staphylococci ada pada saluran hidung dan tenggorokan dan pada rambut dan kulit dari 50% atau lebih individu yang sehat. Tingkat keberadaan bakteri ini bahkan lebih tinggi pada mereka yang berhubungan dengan individu yang sakit dan lingkungan rumah sakit. Walaupun pengolah makanan merupakan sumber utama kontaminasi dalam kasus-kasus keracunan makanan, peralatan dan permukaan lingkungan dapat juga menjadi sumber kontaminasi oleh s. Aureus. Keracunan pada manusia disebabkan oleh konsumsi enterotoxin yang dihasilkan oleh beberapa strain s. Aureus di dalam makanan , biasanya karena makanan tersebut tidak disimpan pada suhu yang cukup tinggi (60°c, atau lebih) atau cukup dingin (7.2°c, atau kurang).
Pewarnaan bakteri
tujuan: - untuk melihat bentuk dan strktur bakteri
didentifikasi dengan pewarnaan gram, uji parsial dan sekuensing gen 16s rrna. Hasil isolasi diperoleh 138 isolat bakteri masing-masing 70 isolat endofit dan 68 ... Pewarnaan gram dari ke enam isolat terbaik. Isolat sab e-8, sab e-35 dan sab e-. 40 dari hasil pewarnaan gram merupakan bakteri gram negatif. Bakteri streptococcus pneumonia bakteri gram positif diarahkan ke kelompok bacillus dengan melakukan uji parsial. Yang meliputi pewarnaan gram, endospora dan katalase.
Hasil hal yang perlu diperhatikan
- objec glass harus bersih dan bebas lemak
- umur biakan: 18-24 jam, kecuali mycobacterium tuberculosis, bila lebih dari 24 jam
Struktur dan bentuk dapat berubah
- kualitas zat warna
- tebal tipis sediaan
cara membuat sediaan
1. Siapkan object glass bersih
2. Tetes kan larutan nacl 0,9%, tambahkan biakan bakteri
3. Ratakan setipis mungkin membentuk lingkaran
4. Biarkan sediaan mongering diudara (jauh diatas api)
5. Fiksasi (lewatkan diatas api) 3 kali →mematikan, merekatkan bakteri
cara membuat sediaan hapus
1. Siapkan object glass bersih
2. Teteskan suspensi bakteri dengan ose pada ping gir sudut object glass
3. Teteskan zat warna negrosin (tinta cina) pada sisi sudut lain
4. Campurdan apuskan (ratakan dengan object glass lain)
5. Keringkan dan fiksasi
macam-macam pewarnaan
1. Pewarnaan negative
- bakteri tidak diwarnai, tapi mewarnai latar belakang
- ditujukan untuk bakteri yang sulit diwarnai, seperti spirochaeta
2. Pewarnaan sedehana
- menggunakan satu macam zat warna (biru metilen/air fukhsin)
- tujuan hanya untuk melihat bentuk sel
3. Pewarnaan diferensial
- menggunakan lebih dari satu macam zat warna
- tujuan untuk membedakan antar bakteri
- contoh: pw. Gram, pw. Bakteri tahan asam
4. Pewarnaan khusus
- untuk mewarnai struktur khusus/tertentu dari bakteri→ kapsul, spora, flagel dll
Cara pewarnaan negative
- Sediaan hapus → teteskan emersi → lihat dimikroskop
- Cara pewarnaan sederhana
- - sediaan → teteskan zat warna, biarkan selama 2 menit → cuci (bilas dengan air mengalir) → keringkan dg kertas saring → teteskan emersi → mikroskop
- Cara pewarnaan gram
- - sediaan → teteskan gentian violet 5 menit → cuci → teteskan lugol 1 menit →
- Cuci → celupkan kedalam alkohol 96% 30 detik → cuci → teteskan air fukhsin 2 menit → cuci → keringkan dg ketas saring → emersi → mikroskop
- - hasil : gram + ungu, gram – merah
- Cara pewarnaan tahan asam (pew. Ziehl-nelson)
- - sediaan → teteskan karbol fukhsin → panaskan 5 menit ~ keluar uap → cuci → teteskan h2so4 5% 2 detik → cuci d alcohol 60% → cuci dg air → teteskan metil biru 2 menit → cuci → keringkan → emersi → mikroskop
- hasil: bakteri tahan asam merah, tidak tahan asam biru
- prinsip: bakteri tahan asam mempertahankan warna merah setelah diberi h2so4
Staphylococcus adalah bakteri coccus gram positif, memiliki diameter sekitar 1 μm, yang cenderung muncul bergerombol menyerupai seikat anggur. Nama staphylococcus berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari kata staphyle dan kokkos, yang masing-masing berarti ’seikat anggur’ dan ’buah berry’. Kurang lebih terdapat 30 spesies staphylococcus secara komensal terdapat di kulit dan membran mukosa; beberapa diantaranya dapat bersifat patogen oportunis menyebabkan infeksi pyogenik (quinn dkk, 2002).
Staphylococcus bersifat anaerobik fakultatif yang dapat tumbuh secara aerobik maupun fermentasi yang menghasilkan asam laktat. Staphylococcus aureus membentuk koloni berwarna kuning yang agak besar pada media yang diperkaya dan bersifat hemolitik pada agar darah. S. Aureus dapat tumbuh pada temperatur antara 150 – 450c dan pada nacl 15%, mampu memfermentasi mannitol, serta mampu memfermentasi glukosa menghasilkan asam laktat (todar, 2005). Staphylococcus merupakan bakteri non motil, tidak membentuk spora, serta menunjukkan hasil positif pada uji katalase dan oksidase negatif (quinn dkk, 2002; todar, 2005).
Uji katalase penting untuk membedakan streptococcus (katalase negatif) dengan staphylococcus yang menghasilkan enzim katalase (katalase positif) (foster, 2004; todar, 2005). Uji katalase dilakukan dengan menambahkan h2o2 3% ke dalam koloni pada plat agar atau agar miring. Pada kultur yang menunjukkan katalase positif akan terbentuk o2 dan gelembung udara (todar, 2005).
Staphylococcus aureus dan s. Intermedius adalah koagulase positif, sedangkan staphylococcus yang lain merupakan koagulase negatif (foster, 2004).
dalam uji koagulase, suspensi staphylococcus dicampur dengan plasma kelinci baik pada slide maupun di dalam tabung. Fibrinogen pada plasma kelinci diubah menjadi fibrin oleh koagulase. Uji slide mendeteksi adanya bound coagulase atau clumping factor pada permukaan bakteri, reaksi positif ditandai dengan penggumpalan oleh bakteri dalam 1 sampai 2 menit. Uji tabung untuk mendeteksi adanya free coagulase atau staphylocoagulase yang disekresikan oleh bakteri ke dalam plasma. Uji ini merupakan uji definitif terhadap produksi koagulase dan reaksi positif ditandai dengan terbentuknya gumpalan di dalam tabung setelah diinkubasi dalam suhu 370c selama 24 jam (quinn dkk, 2002). Koagulase merupakan protein ekstraseluler yang mengikat prothrombin hospes dan membentuk komplek yang disebut staphylothrombin. Karakteristik aktifitas protease pada thrombin diaktifasi dalam komplek tersebut, menghasilkan konversi fibrinogen menjadi fibrin. Koagulase merupakan cara sederhana untuk mengidentifikasi s. Aureus di laboratorium klinis mikrobiologi (todar 2005).
Mannitol salt agar atau msa umum digunakan sebagai media pertumbuhan dalam mikrobiologi. Msa mengandung konsentrasi garam nacl yang tinggi (7,5% – 10%), sehingga membuat msa menjadi media selektif untuk micrococcaceae dan staphylococcus karena tingkat nacl yang tinggi menghambat bakteri yang lain. Msa juga merupakan media differensial yang mengandung mannitol dan indikator phenol red. Produksi asam sebagai hasil dari fermentasi mannitol, yang merupakan ciri-ciri beberapa spesies seperti staphylococcus aureus, akan mengubah warna agar yang semula berwarna merah menjadi kuning. Bakteri yang memfermentasi mannitol menghasilkan koloni berwarna kuning sedangkan non fermentasi mannitol akan menghasilkan koloni kemerahan atau ungu (anonim4, 2007).
S. Aureus memiliki beberapa potensi faktor virulensi; protein permukaan yang menyebabkan kolonisasi pada jaringan hospes; invasin yang mengakibatkan bakteri menyebar dalam jaringan (leukocidin, kinase, hyaluronidase); faktor permukaan yang menghambat proses fagositosis (kapsula, protein a); materi biokemis yang meningkatkan ketahanan bakteri terhadap fagositosis (karotenoid, produksi katalase); penyamaran imunologi (protein a, koagulase, clotting factor); toksin perusak membran yang melisiskan membran sel eukariotik (hemolisin, leukotoksin, leukocidin); eksotoksin yang merusak jaringan hospes atau menimbulkan gejala penyakit (superantigen enterotoksin a-g , toxic shock syndrome toxin, exfoliatin toxin); serta sifat ketahanan bawaan maupun perolehan terhadap agen antimikrobial (todar, 2005).
Staphylococcus aureus menyebabkan radang suppuratif pada kelinci (harcourt-brown, 2002). abdel-gwad dkk (2004) menambahkan bentuk septikemia akut sering terjadi pada anak kelinci yang baru lahir dan dapat menimbulkan lesi yang beragam dari sedikit dan nonspesifik hingga suppuratif dan multifokal pada berbagai organ, termasuk pulmo, ren, lien, cor dan hepar. organisme diisolasi dari bagian yang terinfeksi. organisme ini juga dapat menyebabkan septicaemia fatal. seperti p. multocida, kelinci sehat dapat membawa s. aureus dalam cavum nasal, serta dapat diisolasi dari konjungtiva dan kulit kelinci sehat. s. aureus dapat diisolasi dari kasus mastitis, ulserasi pododermatitis, rhinitis, konjungtivitis, dacryocystitis, abses dan infeksi kulit. sering menjadi infeksi sekunder dalam kerusakan jaringan akibat trauma atau faktor predisposisi lainnya. tingkat keparahan penyakit tergantung pada ketahanan tubuh hospes dan faktor virulensi bakteri (delong dan manning dalam harcourt-brown, 2002).
patogenesis staphylococcosis pada kelinci telah digambarkan oleh richard dalam abdel-gwad (2004) yaitu staphylococcus aureus mungkin tinggal dalam sinus nasal atau pulmo dan dapat menyebar melalui kontak langsung atau aerosol. infeksi melalui luka pada kulit merupakan rute infeksi yang umum dan menimbulkan radang suppuratif pada kulit dan subkutan. septikemia juga dapat ditimbulkan dari infeksi kulit, dan pada kasus septikemia akut mungkin akan terjadi demam, anoreksia, depresi dan kematian. septikemia dapat mengakibatkab kematian perakut dengan lesi yang sedikit dan tidak spesifik, akan tetapi apabila kelinci bertahan pada fase ini akan terbentuk abses di beberapa organ dalam seperti cor, ginjal, pulmo, hepar, lien, testes dan persendian mengakibatkan osteomylitis.
isolasi dan identifikasi
pada kondisi suppuratif yang kemungkinan karena infeksi staphylococccus harus diperhatikan dan dikoleksi spesimen yang tepat berupa eksudat untuk prosedur pemeriksaan laboratorik. pengecatan gram apus nanah atau spesimen lain yang memungkinkan dapat mengungkap jenis kelompok staphylococcus. spesimen dikultur pada media agar darah kemudian diinkubasi secara aerobik pada suhu 370c selama 24 sampai 48 jam. kriteria untuk mengidentifikasi isolat antara lain; karakteristik koloni, ada atau tidaknya kemampuan hemolisa, tidak tumbuh pada agar macconkey, memproduksi katalase dan koagulase serta profil biokemisnya (quinn, 2002). menurut ajuwape dan aregbesola (2001), isolat dapat diuji biokemis sesuai metode standar dengan uji gula-gula seperti; glukosa, mannitol, maltosa, laktosa, sukrosa, dulcitol, sorbitol, xylose dan trehalose
media pemeriksaan
peralatan yang digunakan meliputi alat euthanasia dan nekropsi hewan serta pemeriksaan mikroskopis laboratorium yang terdiri atas; gunting, scalpel, pinset, pisau, dan gunting tulang, container sample, deck glass, eppendorf, sarung tangan, masker, cawan petri, obyek glass, double obyek glass, nampan plastik, beker glass, spuit, tabung reaksi, sentrifus, magnet stirer, mikroskop, pipet leukosit, pipet eritrosit, pipet hb, kamar hitung neurbauer, mikrohematokrit, refraktometer, spektrofotometer, penangas air, usa, dan lampu spritus.
hewan yang digunakan adalah kelinci jantan umur 2,5 bulan dengan nomor protokol e 114. bahan yang digunakan berupa edta, methanol, giemza, formalin 10%, nacl jenuh, nacl fisiologis, gula jenuh, kalium bikromat 2%, akuades, minyak emersi, reagen turk, plat agar darah, manitol salt agar, plasma kelinci, kaldu bhi, hidrogen peroksida 3 %, gentian violet, lugol, alkohol 95%, air fuchsin.
pemeriksaan laboratorium mikrobiologi
berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi, dari hepar kelinci dengan nomor protokol e 114 dapat diisolasi staphylococcus aureus.
adanya respon terhadap radang yang mengakibatkan meningkatnya fibrinogen dalam darah. pada kasus ini, terjadi leukopenia, limfopenia, neutropenia dan basopenia. leukopenia berhubungan dengan adanya neutropenia. terjadinya neutropenia dan basopenia dalam kasus ini dapat dihubungkan dengan adanya infeksi staphylococcus aureus, dimana bakteri tersebut mampu menghasilkan leukosidin yaitu substansi yang dapat membunuh dan pada beberapa kasus melisiskan leukosit polimorfonuklear (burrows, 1956). sedangkan limfopenia dalam kasus ini dapat berhubungan dengan adanya koksidiosis, hal ini didasarkan pada kulišić dkk (2006) yang melaporkan bahwa terjadi penurunan yang signifikan jumlah limfosit dalam sirkulasi darah pada kelinci yang menderita koksidiosis. penurunan ini dikarenakan adanya kerusakan pada jaringan limfatik yang menyelimuti usus akibat koksidia (kulišić dkk, 2006). peningkatan aktifitas enzim serum glutamic pyruvic transaminase (sgpt) dalam kasus ini berhubungan dengan adanya gangguan pada hepar yang diakibatkan oleh koksidiosis hepatik karena eimeria steidae. koksidiosis hepatik karena eimeria steidae merupakan penyebab meningkatnya konsentrasi sgpt dalam darah (harcourt-brown, 2002). peningkatan ureum dalam darah telah dilaporkan oleh licois dkk dalam harcourt-brown (2002) terjadi pada kelinci yang diinduksi koksidiosis secara eksperimental. penulis menduga peningkatan urea disebabkan adanya katabolisme nitrogen intensif selama penurunan berat badan akibat infeksi koksidia. disamping itu, kurangnya air minum dapat mengakibatkan dehidrasi sehingga urea dalam darah meningkat (harcourt-brown, 2002). melalui uji benzidine terhadap feses dapat diketahui bahwa terdapat darah dalam feses. hal ini mengindikasikan adanya perdarahan pada saluran gastrointestinal yang pada kasus ini kemungkinan dapat disebabkan oleh koksidia intestinal.
pada pemeriksaan mikrobiologi dilakukan dengan mengisolasi bakteri dari sampel berupa lesi pada hepar. media primer yang digunakan berupa plat agar darah (pad). dari beberapa macam koloni yang tumbuh, dipilih koloni yang mengarah pada staphylococcus aureus. menurut carter and wise (2003), staphylococcus aureus memiliki koloni berbentuk sirkuler dengan diameter 2-3 mm, berwarna putih opak atau kekuningan. koloni dimurnikan lagi hingga diperoleh satu macam koloni yang terpisah. kemudian dilakukan pengecatan gram dan didapatkan hasil bakteri berbentuk coccus, tercat ungu dan bergerombol menyerupai anggur. sehingga diketahui bakteri tersebut merupakan bakteri coccuc dan termasuk gram positif. setelah itu dilakukan uji katalase dengan cara mencampur biakan dengan tetesan hidrogen peroksida 3%. staphylococcus menghasilkan enzim katalase (katalase positif) (foster, 2004; todar, 2005). pada kultur yang menunjukkan katalase positif akan terbentuk o2 dan gelembung udara (todar, 2005). dari hasil uji katalase didapatkan hasil positif denganterbentuknya gelembung-gelembung, hal ini menandakan bahwa bakteri mampu menghasilkan enzim katalase. selanjutnya dilakukan uji koagulase untuk mengetahui produksi dua macam enzim koagulase yaitu free coagulase dengan uji tabung dan bound coagulase (clumping factor) dengan uji slide. dari kedua uji tersebut didapatkan hasil positif, hal ini menunjukan bahwa bakteri memiliki bound coagulase (clumping factor) pada permukaan bakteri dan mampu menghasilkan staphylocoagulase (quinn dkk, 2002). setelah itu dilakukan penanaman pada media mannitol salt agar (msa) dan didapatkan hasil bakteri mampu tumbuh dan memfermentasi mannitol yang ditandai dengan warna koloni dan media berwarna kuning. hal ini menunjukan bahwa bakteri mampu menggunakan mannitol sebagai sumber nutrisi dan dihasilkan asam sebagai produk akhirnya. adanya asam yang dihasilkan dari fermentasi mannitol tersebut menyebabkan indikator phenol red berubah menjadi kuning (anonim5, 2008). pada uji gula-gula dengan media glukosa, sukrosa, laktosa dan maltosa, didapatkan hasil media berubah menjadi kekuningan. hal ini menunjukkan bahwa bakteri mampu memfermentasi gula-gula. ajuwape dan aregbesola (2001) melaporkan bahwa isolat staphylococcus aureus dari 108 ekor kelinci tercatat 100% positif memfermentasi glukosa, mannitol dan sukrosa; 98,1% memfermentasi maltosa serta 89,8% memfermentasi laktosa. berdasarkan pemeriksaan gram positif, berbentuk coccus, koloni bergerombol menyerupai anggur, katalase positif dan koagulase positif serta mampu memfermentasi mannitol juga gula-gula (glukosa, sukrosa, laktosa dan maltosa), bakteri tersebut memiliki sifat karakteristik staphylococcus aureus (ajuwape dan aregbesola, 2001; foster, 2004; todar, 2005). maka dapat disimpulkan bahwa bakteri yang terisolasi dari hepar kelinci e 114 adalah staphylococcus aureus.
pada kasus ini, keberadaan staphylococcus aureus dalam hepar menunjukkan adanya bakteremia dengan saluran respirasi bagian atas sebagai jalan masuknya. sanitasi kandang dan manajemen pemeliharaan yang kurang baik menjadi faktor predisposisi terjadinya infeksi staphylococcus aureus. wilber (1999) menyatakan bahwa transmisi s. aureus dapat terjadi melalui kontak langsung melalui aerosol, pada hewan karier membawa organisme di dalam saluran respirasi bagian atas dan adanya luka pada kulit. abdel- gwad (2004) menambahkan bahwa secara normal s.aureus dapat diisolasi dari saluran respiratori bagian atas pada kelinci sehat. pada pemeriksaan makroskopik hepar didapatkan lesi berupa abses. abdel-gwad dkk (2004) melaporkan bahwa pada kelinci yang terinfeksi s.aureus, teramati adanya lesi berupa abses pada organ dalam seperti pulmo, hepar, jantung, ginjal, lien, testes dan persendian. pada pemeriksaan mikroskopik hepar didapatkan adanya foki nekrotik di parenkim, menurut wilber (1999) pemeriksaan histopatologi organ yang terinfeksi akan terlihat adanya lesi berupa fokal nekrotik suppuratif dengan koloni coccus.
staphylococci (staph) are gram-positive spherical bacteria that occur in microscopic clusters resembling grapes. bacteriological culture of the nose and skin of normal humans invariably yields staphylococci. in 1884, rosenbach described the two pigmented colony types of staphylococci and proposed the appropriate nomenclature: staphylococcus aureus (yellow) and staphylococcus albus (white). the latter species is now named staphylococcus epidermidis. although more than 20 species of staphylococcus are described in bergey's manual (2001), only staphylococcus aureus and staphylococcus epidermidis are significant in their interactions with humans. s. aureus colonizes mainly the nasal passages, but it may be found regularly in most other anatomical locales, including the skin, oral cavity and gastrointestinal tract. s epidermidis is an inhabitant of the skin.
taxonomically, the genus staphylococcus is in the bacterial family staphylococcaceae, which includes three lesser known genera, gamella, macrococcus and salinicoccus. the best-known of its nearby phylogenetic relatives are the members of the genus bacillus in the family bacillaceae, which is on the same level as the family staphylococcaceae. the listeriaceae are also a nearby family.
staphylococcus aureus forms a fairly large yellow colony on rich medium; s. epidermidis has a relatively small white colony. s. aureus is often hemolytic on blood agar; s. epidermidis is non hemolytic. staphylococci are facultative anaerobes that grow by aerobic respiration or by fermentation that yields principally lactic acid. the bacteria are catalase-positive and oxidase-negative. s. aureus can grow at a temperature range of 15 to 45 degrees and at nacl concentrations as high as 15 percent. nearly all strains of s. aureus produce the enzyme coagulase: nearly all strains of s. epidermidis lack this enzyme. s. aureus should always be considered a potential pathogen; most strains of s. epidermidis are nonpathogenic and may even play a protective role in humans as normal flora. staphylococcus epidermidis may be a pathogen in the hospital environment.
staphylococci are perfectly spherical cells about 1 micrometer in diameter. the staphylococci grow in clusters because the cells divide successively in three perpendicular planes with the sister cells remaining attached to one another following each successive division. since the exact point of attachment of sister cells may not be within the divisional plane, and the cells may change position slightly while remaining attached, the result is formation of an irregular cluster of cells.
the shape and configuration of the gram-positive cocci helps to distinguish staphylococci from streptococci. streptococci are slightly oblong cells that usually grow in chains because they divide in one plane only, similar to a bacillus. without a microscope, the catalase test is important in distinguishing streptococci (catalase-negative) from staphylococci, which are vigorous catalase-producers. the test is performed by adding 3% hydrogen peroxide to a colony on an agar plate or slant. catalase-positive cultures produce o2 and bubble at once. the test should not be done on blood agar because blood itself contains catalase.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
staphylococcus sp. adalah bakteri kelompok gram positif yang memiliki bentuk coccus atau berbentuk bulat. staphylococcus sp. kebanyakan adalah mikroflora yang normal hidup pada manusia. sering ditemukan di kulit dan selaput mukosa seperti usus & mulut. spesies yg sering dijumpai: 1. staphylococcus aureus 2. staphylococcus epidermis / epidermidis 3. staphylococcus safropitis / safrofitidis suhu optimum pertumbuhan 35-37°c suhu minimum pertumbuhan 10°c suhu maksimum pertumbuhan 42°c suhu lethal 62°c 30-60 menit suhu lethal 72°c 15 menit perbedaan berdasarkan perubahan warna koloni pada media agar darah - s. aureus = kuning emas - s. albus = putih - s. citrus = kuning sitrus tahan garam 7-10%, seringkali staphylococcus aureus ditemukan pada ikan asin yang kurang asin, karena kemampuannya untuk hidup dalam suasana asin atau konsentrasi garam yang tinggi. diameter koloni 2-3mm / 24 jam. diameter koloni 7mm / 2-3x24 jam dapat melisiskan eritrosit dengan toksin hemolysin.
cara penularan staphylococcus 1. droplet 2. udara 3. keracunan makanan = toksin enterotoksik karena sifat komensal staphylococcus, maka ia mudah untuk menginfeksi. salah satu gejala infeksi staphylococcus berupa kemerahan pada kulit atau pyoderma enterotoksin yang dihasilkan oleh staphylococcus memiliki dosis toksik sebesar 10ug/ml. keracunan yang terjadi karena enterotoksin disebut intoksikasi. enterotoksin menyerang ssp. gejala yang sering timbul yaitu mata kunang-kunang, pegal pada tangan dan kaki, lunglai dll. patogenitas 1. infeksi permukaan : - bisul (furunkel sampai karbunkel) - jerawat/acne - korengan - paranochya - hordeoleum - mastitis puerpuralis - pemfigus 2. infeksi organ dalam: - endocarditis - osteomyelitis - arthritis - infeksi ginjal - infeksi paru-paru - infeksi saluran kemih produk-produk ekstraseluler staphylococcus aureus: 1. leukosidin 2. koagulase 3. streptokinase 4. hemolisin 5. lipase 6. hialuronidase 7. glikopeptida
Saran
terima kasih telah membaca makalah ini,penulis harap setelah membaca makalah ini pembaca dapat menjaga kesehatan agar terbebas dari berbagai penyakit yang dapat mamatikan organ tubuh manusia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar